Adab dalam menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting,
maka dari itu para ulama senantiasa memperhatikan adab-adab tersebut.
Suatu ketika Imam Laits Bin Sa’ad
melihat para penuntut hadits, kemudian beliau melihat ada kekurangan
dalam adab mereka, maka beliau berkata: “Apa ini!, sungguh belajar adab
walaupun sedikit lebih kalian butuhkan dari pada kalian belajar banyak
ilmu". (Al-Jami’:1/405)
Imam Adz-Dzahabi
berkata: “Penuntut ilmu yang datang di majelis imam Ahmad lima ribu
orang atau lebih, lima ratus menulis hadits, sedangkan sisanya duduk
untuk mempelajari akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A’lamun
Nubala’:11/316)
Berkata Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i:
“Saya keluar masuk di rumah Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal)
selama 12 tahun sedangkan beliau sedang membacakan kitab Musnad kepada
anak-anaknya. Dan selama itu saya tidak pernah menulis satu hadits pun
dari beliau, hal ini disebabkan karena saya datang hanya untuk belajar
akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A‘lamun Nubala’:11/316)
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-:
“Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu
hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”.
(Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-:
“Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka
dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”.
(Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-:
“Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits
walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu
yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat
baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-:
“Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa
ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’
1/80)
Adab menuntut ilmu sangat banyak, diantaranya yang paling penting adalah:
1. Menuntut ilmu adalah ibadah.
Dan ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan dua syarat:
A. Ikhlas karena untuk mencari ridho Allah ta’ala.
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan semua agama kepadaNya(Al-Bayyinah:5)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله
فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها
فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya
setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan
mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah
karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR.
Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa
an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no.
1907])
Maka ketika Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar.
Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan
diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan
diterima. Jadi harus ikhlas dan benar.
Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah sholallohu’alaihi wasallam.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
Ikhlas ini mahal dan berat, makanya para sahabat dahulu berusaha
bagaimana supaya ikhlas. Maka sebagaimana perkataan Imam Ats-sauri
:”tidak ada yang lebih sulit bagi diriku kecuali niatku” (mengikhlaskan
niat).
Kalaulah imam yang besar seperti imam ats-sauri mengeluh atas susahnya ikhlas lalu bagaimana dengan kita-kita yang awam?
Sampai menuntut ilmu saja kalau tidak karena mengharapkan ganjaran Alloh ‘azza wa jalla, tidak akan mencium bau surga sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh Rasulullah sholallohu’alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah
Allah 'Azza wa Jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian
kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim)
Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan
menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita
akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan
masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan
namun bukan karena Allah?
Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan
ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah
akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan
bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni
dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang
artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)
Imam Adzahabi
dalam kitabnya Kitab Siyar A'lam An-Nubala (Perjalanan Hidup
Orang-orang Mulia) menceritakan Seorang yang alim yang mengatakan “aku
belum pernah mengatakan aku menuntut ilmu ini semata-mata karena
Alloh”, karena takutnya akan jatuh ria. Dan beliau Azahabi berkomentar
‘Wallohi wala anaa’. Demi Alloh, aku pun juga demikian…
Hal ini menggambarkan akan beratnya para ulama berusaha untuk berbuat ikhlas.
Dalam Hadits Qudsi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ
الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(*)،
تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.
(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه
Diriwayatkan
dari Abi Hurairah radiyallohu’anhu, beliau berkata, Telah bersabda
Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah tabaraka
wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha
Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal
sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(*), maka Aku
meninggalkannya dan sekutunya”
Diriwayatkan oleh Muslim
(dan begitu juga oleh Ibnu Majah). *). Adalah juga termasuk syirik jika
seseorang beramal dengan amalan disamping ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taála juga ditujukan kepada yang selain-Nya.
Maka Ikhlas merupakan asas dalam beramal. Seorang hamba akan terus
berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu
dengan Sang Khalik kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh
amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk
mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat
mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di
antara hal-hal tersebut adalah dengan banyak berdo’a.
Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.”
(HR Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 54, dan Ibnu
Majah n0. 925. Isnadnya hasan menurut Abdul Qadir dan Syu’aib
al-Arna’uth dalam taqiq Zad Al-Maad 2/375).
B. Mutaba’ah (Mengikuti petunjuk Rosulillah).
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah
(wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya
Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. (Ali ‘Imron:31)
Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak”. (H.R Muslim)
2. Berjalan diatas metode para Ulama Ahlus Sunah Wal Jama’ah
Muhamad Bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah agama maka
lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian”. (Muqodimah Shohih
Muslim:1/14)
Beliau juga berkata : “Dahulu para ulama sahabat
tidak pernah bertanya tentang Sanad (tali rantai para Rowi), dan ketika
terjadi fitnah (wafat Utsman) maka mereka bertanya: ‘Siapa Rowi-Rowi
kalian?’. Maka dilihat, jika Rowinya seorang Ahlus Sunah maka mereka
akan mengambil haditsnya, dan jika rowinya Ahlul Bid’ah maka mereka
menolak haditsnya”. (Modimah Shohih Muslim:1/15)
3. Hati-hati dalam memilih pengajar dan guru.
Imam Malik Bin Anas
berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang
bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil
bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta
ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika
menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah
jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”. (Siyar
‘Alamun Nubala’:8/61)
Imam Al-Khotib Al-Baghdadi
berkata: “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada
ulama’ yang ma’ruf akan agama dan amanahnya”. (Al-Faqif Wal
Mutafaqqif:2/96)
4. Menghiasi diri dengan Taqwa, Takut dan Muroqobah (merasa dalam awasan Allah).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ
فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ
وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Wahai
orang-orang yang beriman! Jika kalian bertaqwa kepada Allah maka
niscaya Allah akan memberikan kepada kalian Furqon (ilmu sebagai
pembeda) dan juga Allah akan hapuskan dosa-dosa kalian. (Al-Anfal:29)
Imam Ahmad berkata: “Pondasi ilmu agama adalah perasaan takut kepada Allah”. (Hilyah:13)
5. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sekuat tenaga.
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah
untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama
menasehati kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya.
Hendaklah seorang penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk
menghafalkan ilmu syar’i ini dengan mengamalkannya dan ittiba’.
Sebagian Salaf mengatakan, “Kami biasa memohon bantuan dalam
menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar
kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa
diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu
tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan
untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu,
kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
Allah Ta’ ala berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar kita mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda, “Tidak
akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia
ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa
yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana
ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia
habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih, lihat Ash-Shohihah no:946"]
6. Sabar dalam menuntutnya.
Imam Yahya Bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak diperoleh dengan jiwa yang enak (santai)”. ( Al-Jami’ : 1/91)
Imam As-Syafi’I
berkata: “Seseorang Tidak akan sampai pada ilmu ini sampai ia ditimpa
kefakiran (kemiskinan), dan kefaqiran tersebut lebih ia utamakan dari
pada yang lainnya”. (Siyar:10/89)
Imam Abu Ahmad Nasr Bin Ahmad Bin Abbas Al-‘Iyadhi
berkata: “Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang menutup
warungnya, menghancurkan sawahnya, meninggalkan teman-temannya, dan
meninggal dunia (wafat) salah satu diantara keluarganya tetapi ia tidak
bisa menghadiri jenazahnya”. (Al-Jami’ Li Adabir Rowi no:1571)
7. Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.
Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Sesungguhnya seseorang jika menuntut
ilmu, maka tidaklah berjalan beberapa waktu kecuali akan nampak
pengaruh ilmu tersebut pada khusyu’nya, mata, lisan, tangan, sholat,
dan zuhudnya”. (Al-Jami’:1/60)
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir
As-Sa’di berkata: “Dan perkara yang harus ada pada orang yang berilmu
adalah menghiasi dirinya dengan kandungan ilmu yang ia pelajari dari
akhlaq yang mulia, mengamalkan ilmunya dan menyebarkannya kepada
manusia. Orang yang berilmu adalah orang yang paling berhaq untuk
menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia dan menjauhi dari akhlaq
yang tidak baik, dia juga merupakan orang yang paling berhaq untuk
mengamalkan kewajiban baik yang dhohir maupun yang batin dan menjauhi
perkara yang haram, hal ini disebabkan karena mereka memiliki ilmu dan
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, mereka adalah Qudwah
(sori tauladan) bagi manusia dan manusia akan mengikuti mereka, dan
juga dikarenakan mereka akan mendapatkan celaan lebih banyak ketika
mereka tidak mengamalkan ilmunya dari pada orang yang tidak berilmu.
Dan sesungguhnya ulama-ulama salaf senantiasa menjadikan amal sebagai
alat untuk menghafal ilmu, karena ilmu jika diamalkan maka akan kokoh
dan dihafal, demikian juga akan semakin bertambah dan banyak barokahnya.
Akan tetapi jika ilmu tidak diamalkan maka ia akan pergi dan
barokahnya akan hilang. Maka ruh kehidupan ilmu adalah pengamalannya
baik dengan akhlaq, mengajarkan, ataupun berda’wah”. (‘Awa’iqut
Tholab:90 karya Syaikh Abdus Salam Bin Barjas)
8. Senantiasa meningkatkan semangat dalam menuntut ilmu.
Imam Ibnul Jauzi
berkata: “Selayaknya bagi orang yang berakal untuk mencurahkan semua
kemampuan dia (dalam menggapai cita-cita). Jika seandainya manusia
mampu naik ke langit, maka kamu akan melihat bahwa orang yang paling
hina adalah orang yang senantiasa puas dengan bumi.
Jika engkau
mampu menyaingi para ulama maka lakukanlah, karena mereka adalah
manusia dan engkau juga manusia yang memiliki akal, dan tidak ada orang
yang selalu puas dengan apa yang sudah didapatkan kecuali orang yang
paling malas dan lemah semangatnya.
Ketahuilah bahwa engkau
sekarang berada di medan pertandingan dan waktu yang engkau miliki
semakin habis, maka janganlah engkau bermalas-malasan. Sungguh tidaklah
luput dari apa yang luput melainkan karena kemalasan, dan tidak
diperoleh dari apa yang sudah tercapai kecuali disebabkan karena usaha
dan semangat”. (Shoidul Khotir:159-161)
Dalam menuntut ilmu
syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu
bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilrnu yang
berrnanfaat -dengan izin Allah- apabila kita bersungguh-sungguh dalam
menuntutnya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
9. Mengikat ilmu dengan menulis dan sering Muroja’ah (mengulang-ulang) hafalan.
Dari Abdullah Bin Amr, Rasulullah bersabda: “Ikatlah ilmu!”, para
Sahabat berkata: “Wahai Rasulullah apa pengikat ilmu?”. Beliau bersabda:
“Tulisan”. (dihasankan oleh Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali dalam
Manhajul Ambiya’ Fi Tazkiyatun Nufus:120)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
Ilmu bagaikan binatang buruan sedang tulisan adalah tali kekang
Ikatlah binatang buruan kalian dengan tali yang kokoh lagi kencang
Sungguh termasuk kedunguan adalah ketika kamu berhasil mendapatkan kijang
Lalu di tengah orang kamu biarkan tanpa ikatan sehingga lepas dan melayang. (Kitabul Ilmi:62)
Syaikh Utsaimin
berkata: “Wajib atas para penuntut ilmu untuk semangat dalam
mengulang-ulang dan mengikat pelajaran baik dengan menghafal atau
menulisnya, hal ini disebabkan karena manusia adalah tempat untuk lupa.
Maka jika seseorang belajar akan tetapi tidak muroja’ah maka ilmu yang
ia dapatkan akan hilang dan lupa”. (Kitabul Ilmi:62)
10. Berdo’a kepada Allah ta’ala agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Diantara do’a yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad
(VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102),
dari Shahabivah Ummu Salamah radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]
Imam Ahmad
berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah pemberian (nikmat) yang Allah
berikan kepada yang dikehendaki, dan tidaklah seseorang memperolehnya
dengan kemuliaan nasabnya. Jika seandainya ilmu bisa diperoleh dengan
nasab maka niscaya orang yang paling berhaq mendapatkanya adalah Ahli
Bait Rosulillah”. (Ma’alim Fi Thoriq Tolabil Ilmi:56)
Syaikh Bakr Abu Zaid
berkata: “Wahai para penuntut ilmu! Tingkatkan harapan kalian,
kembalilah kepada Allah dengan berdo’a dan menghinakan diri
dihadapanNya. Sungguh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah sering sekali jika
susah di dalam memahami tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, beliau
mengucapkan dalam do’anya: “wahai Allah Dzat yang telah
meng’ajarkan Nabi Adam dan Ibrohim ajarkanlah saya, wahai Allah Dzat
yang telah memahamkan Nabi Sulaiman fahamkanlah saya”, kemudian setelah
berdo’a seperti ini maka beliau diberikan kemudahan dalam memahami
tafsirnya”. (Hilyah:58-59)
Juga do’ a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya
Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan
kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan
tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]
11. Mengajarkan ilmu yang sudah didapatkan.
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan diantara adab bagi
orang yang berilmu dan para penuntut ilmu adalah saling menasehati dan
menyebarkan ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan. Walaupun
seseorang hanya mengetahui satu masalah saja, kemudian ia ajarkan dan
sebarkan maka ini adalah tanda barokah dari ilmunya, karena buah ilmumu
adalah ketika manusia mengambil ilmu tersebut darimu.
Dan
barang siapa yang bakhil dengan ilmunya, maka ilmunya akan mati dengan
kematiannya, bahkan terkadang dia akan lupa dari ilmunya walupun dia
masih hidup. Akan tetapi seseorang yang menyebarkan ilmunya, maka
inilah kehidupan ilmunya yang kedua dan sebagai wacana untuk menghafal
ilmunya, dan Allah akan mengganjarnya sesuai dengan amalannya”.
(‘Awa’iqut Tholab:93)
Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.
Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah ‘Azza wa Jalla sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan firrnan Allah Ta’ala,
“Katakanlah
(Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku
tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang
dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus mengetahui
hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang yang
menjadi objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita karena Allah Ta’ ala berfirman,
“Wahai
orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api
Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma
berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat
kepada-Nya, dan suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan
menyelamatkan kalian dari Neraka.”
12. Menghormati gurunya.
Imam An-Nawawi berkata: “Hendaknya orang yang ingin bertanya, ia
beradab kepada muftinya (seorang ulama yang akan ditanya) dan
menghormatinya dalam berbicara dengannya, dan hendaknya dia tidak
menuding dengan jarinya kearah muka gurunya. Demikian juga tidak boleh
berkata: ‘apa yang kamu hafal tentang masalah ini?’, atau berkata: ‘apa
madzab gurumu atau Imam Syafi’i dalam masalah ini?’.
Demikian
juga tidak boleh ketika gurumu telah menjawab, kemudian engkau
mengatakan: ‘kalau pendapat saya seperti ini’. Atau engkau mengatakan:
‘tetapi ulama ini dan itu menjawab tidak seperti jawabanmu’. Atau engkau
mengatakan: ‘jika jawaban engkau seperti ini saya akan tulis jawabanmu
jika tidak maka saya tidak akan menulisnya’.
Demikian juga
tidak boleh bertanya kepada gurunya dalam keadaan berdiri, berjalan,
atau ketika gurunya sedang marah, sedih, setres, atau kondisi yang
membuat tidak bisa konsentrasi”. (Adabul Fatwa Wal Mufti Wal
Mustafti:83)
13. Rihlah ( safar ) untuk menuntut ilmu.
Abu Sa’id Al-Khudri
berkata: “Akan datang kepada kalian manusia untuk menuntut ilmu. Maka
jika kalian nanti melihatnya, katakanlah kepada mereka:
‘Marhaban-Marhaban (selamat datang) wahai para wasiat Rosulillah’ dan
puaskanlah mereka!”. Maka ditanyakan kepada Hakam (Seorang Rowi Hadits)
: ‘apa maksud puaskanlah mereka?’ beliau berkata: “Ajarilah mereka”.
(H.R Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Ibnu
Majah:201)
Jabir Bin Abdillah berkata: “Telah
sampai kabar kepada saya bahwa ada seorang sahabat telah mendengar
hadits dari Rosulillah yang belum pernah saya dengar, maka saya
langsung membeli onta dan saya siapkan semua bekal, kemudian saya pergi
ke syam dengan menempuh perjalanan selama satu bulan. Setibanya di
syam saya langsung menuju rumah orang tersebut, dan rupanya beliau
adalah Abdullah Bin Unais Al-Anshori.
Ketika
sampai dirumahnya maka saya mengetuk pintu dan keluarlah seseorang,
maka saya berkata kepada: ‘Tolong beritahu Abdullah bahwa Jabir ingin
bertemu dan menunggu di pintu’. Maka orang tersebut kaget seraya
berkata: ‘Anda Jabir Bin Abdillah?’, maka saya berkata: ‘Ya benar’.
Kemudian orang tersebut masuk menemui Abdullah, lalu keluarlah Abdullah
Bin Unais dan langsung memelukku dan akupun memeluknya, kemudian aku
berkata: ‘Saya telah mendengar kabar bahwa engkau mendengar hadits dari
Rosulillah tentang Madzolim (kriminal) yang belum pernah aku dengar,
dan saya takut jika saya mati lebih dahulu atau engkau meninggal dahulu
dan saya belum mendengar hadits tersebut”. (Ar-Rihlah Fi Tolabul
Ilmi:110 karya Khotib Al-Baghdadi)
14. Senantiasa menjaga adab-adab dalam mejelis.
Dari Abi Sa’id Al-Khudri
berkata: “Suatu ketika Rasulullah berdiri diatas mimbar dan bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa kepada kalian
adalah kenikmatan yang Allah bukakan kepada kalian dari perbendaharaan
bumi”, kemudian beliau menyebutkan perhiasan dunia satu persatu. Lalu
salah seorang sahabat berdiri dan berkata: ‘Wahai Rasulullah apakah
kebaikan bisa mendatangkan kejelekan?’. Maka Rasulullah diam, dan kami
berkata: ‘Beliau sedang diberikan wahyu’. Dan semua manusia diam sampai
seakan-akan diatas kepala mereka ada seekor burung”. (H.R Bukhori)
Ibnul Ambari
berkata: “Perkataan : ‘Manusia duduk diam seakan-akan di atas kepala
mereka ada seekor burung’ ada dua makna: yang pertama: bahwasanya
mereka diam tidak bergerak dan senantiasa menundukkan pandangan. Karena
burung tidak hinggap kecuali di tempat yang diam….”. (Al-Jami’ Li
Akhlaqir Rowi Wa Adabis Sami’:1/192/-193)
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Apabila engkau menghadiri majlis ilmu, maka janganlah
kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu dan pahala, bukannya hadir
dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk engkau sebarkan atau
sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena ini adalah perbuatan
orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung dalam ilmu
selama-selamanya”.(Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus halaman 92)
15. Mengumpulkan kitab dan gemar dalam membacanya.
Syaikh bakr abu zaid
berkata: “Kemuliaan ilmu sudah jelas karena banyak manfaatnya, dan
kebutuhan kita kepadanya seperti kebutuhan jasad kita terhadap nafas,
dan akan nampak kekurangan seseorang ketika ia kurang dalam ilmunya,
begitu juga kebahagiaan dan kesenangan akan diperoleh sesuai dengan
jumlah ilmu yang ia dapat. Maka perkara-perkara ini semakin menguatkan
kebutuhan para penuntut ilmu untuk belajar, dan meningkatkan kebutuhan
kita akan kitab.
Maka dari itu hendaknya engkau kuatkan ilmumu
dengan kitab, dan ketahuilah bahwa setiap kitab saling melengkapi
sehingga satu kitab tidak akan mencukupi dari yang lainya. Dan
hendaknya kamu memilih kitab-kitab yang bermanfaat, tetapi jangan
engkau penuhi perpustakaanmu dengan kitab-kitab yang akan mengotori
pikiranmu dari kitab-kitab yang tidak bermanfaat apalagi kitab-kitab
Ahli Bid’ah, karena ini semua bagaikan racun yang mematikan”.
(Hilyah:75-76)
PERKARA YANG HARUS DIJAUHI BAGI PENUNTUT ILMU:
1. Menuntut ilmu bukan karena Allah.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang
siapa menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan untuk mencari ridho
Allah, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali karena untuk menggapai
kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga di hari kiamat”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dishahihkan oleh Hakim dan Dzahabi)
2. Meningalkan amal.
Ali Bin Abi Tholib berkata: “Ilmu
senantiasa memanggil amal, jika amal menjawab panggilannya maka ilmu
akan diam dan tetap, tetapi jika amal tidak menjawabnya maka ilmu
tersebut akan pergi”. (Jami’ Bayanil Ilmi:2/11)
3. Perbuatan dosa dan maksiat.
Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Sungguh saya mengira seseorang lupa
terhadap ilmu yang pernah ia pelajari disebabkan perbuatan dosa yang ia
lakukan”. (Al-Jami’:1/196)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan dalam kitabnya ad-Daa’ wad Dawaa’
bahwa seseorang tidak mendapatkan ilmu disebabkan dosa dan maksiyat
yang dilakukannya. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat
disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiyat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Di
antara hal yang sangat mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah
menjaga dirinya dan berhati-hati dari makan makanan yang haram,
berbuat berzina, mencuri, minum khamr, melihat kepada sesuatu yang
haram, dan selainnya. Namun, ia sangat sulit untuk menahan gerak
lisannya hingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham
agama, zuhud, dan banyak beribadah, ia berbicara dengan kata-kata yang
tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Yang dengan satu
kalimat darinya ia dimasuk-kan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih
jauh dari-pada jarak antara timur dan barat.”
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]
Perhatikanlah, sesungguhnya dosa dan maksiyat dapat menghalangi ilmu
yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan, dan
mendatangkan siksa Allah Ta’ ala.
4. Belajar hanya mengandalkan buku (Otodidak).
Para ulama sejak dahulu berkata: “Barang siapa yang gurunya adalah
kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari kebenaranya”. (‘Awa’iqut
Tholab:26)
5. Menghabiskan waktu tanpa faedah.
Rosullah bersabda: “Diantara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak ada manfaatnya”. (H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh imam Nawawi)
Imam Dzahabi ketika menyebutkan biografi Abdul Wahab Bin Al-Amin
berkata: “Sesungguhnya waktu beliau sangat dijaga, maka tidaklah
waktunya berjalan kecuali beliau mengisinya dengan bacaan, dzikir,
tahajud, atau menyimakan hafalan”.(Ma’rifatul Quro’ Al-Kibar:2/645)
6. Tergesa-gesa untuk mendapatkan hasilnya.
Berkata Al-Ma’mun : “Sugguh sangat aneh ketika ada salah seorang
penuntut ilmu belajar cuma tiga hari kemudian berkata: ‘saya adalah
termasuk ulama ahli hadits”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:10/89)
Ibnu
Hamzah berkata: “Imam Ya’qub Bin Sufyan berkata kepadaku : ‘Sungguh
saya menuntut ilmu tiga puluh tahun”. (Tadzkirotul Hufadz pada bigrafi
Imam Makhhul)
7. Tidak bertahap dalam belajar ilmu.
Allah berfirman: {Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”. Demikianlah (Kami
turunkan berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakanya kepadamu secara Tartil (teratur dan benar) }.
(Al-Furqon:32)
Imam Az-Zabidi berkata: “Wajib untuk tidak masuk
kepada fann (cabang ilmu) kecuali setelah menguasai fann yang
sebelumnya”. (‘Awa’iqut Tholab:35)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata:
“Belajar memiliki derajat, tingkatan, dan urutan. Dan tidak boleh
menerjang dan melanggar urutan tersebut, karena hal ini akan menerjang
metode para ulama Salaf. Barang siapa menyelisihi metode mereka dengan
sengaja pasti ia akan sesat, dan yang menyelisinya karena berijtihad
(mengira baik) maka ia akan tergelincir (salah)”. (Al-Jami’:2/166)
8. Sifat sombong dan ujub.
Imam Mujahid berkata: “Tidak akan menuntut ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong”. (H.R Bukhari)
Para ulama berkata: “Ilmu itu ada tiga tingkatan: Siapa yang masuk
kepada tingkatan pertama maka ia akan sombong, Siapa yang masuk
tingkatan kedua maka ia akan menjadi orang yang tawadhu’, dan Siapa
masuk tingkatan ketiga maka pasti ia akan merasa bahwa dirinya belum
banyak mengetahui”. (Tadzkirotus Sami’ Wal Mutakalim:65)
Abu
‘Ashim An-Nabil berkata: “Saya duduk di majelis Imam Sufyan Ats-Tsuri.
Di majelis tersebut hadir pula seorang pemuda yang pandai, dan pemuda
tersebut maju, berbicara, sombong dengan kecerdasanya, dan
memperlihatkan ilmu (berlagak seperti orang yang paling pandai) padahal
disitu ada orang yang lebih senior. Maka Sufyan marah dan berkata:
“Sungguh ulama salaf tidak seperti ini, dahulu mereka tidak menganggap
dirinya seperti ulama dan tidak duduk di depan sampai mereka menuntut
ilmu tiga puluh tahun. Sedangkan kamu ini orang yang sombong dan merasa
tinggi dari orang yang lebih tua (senior) darimu. Berdiri dan menjauh
dariku!!, saya tidak mau melihat kamu maju kedepan lagi di majelisku
ini”.(Al-Madkhol Ila Susanil Kubro:679 karya Imam Al-Baihaqi)
9. Cinta akan ketenaran dan menampakan dirinya sebagai orang yang berilmu.
Imam Syafi’i berkata: “Saya sangat senang jika manusia mengambil ilmu
dariku tetapi mereka tidak pernah menisbatkan ilmu tersebut kepadaku,
sehingga Allah memberi pahala kepadaku dan mereka tidak memujiku”.
(Al-bidayah Wan Nihayah:5/256 karya Imam Ibnu Katsir)
Syaikh
Utsaimin berkata: “Dan perkara yang wajib dijauhi oleh penuntut ilmu
adalah sikap menampakan ilmunya sebelum ia menjadi orang yang layak”.
(Kitabul Ilmi:81)
10. Sifat hasad (dengki atau iri)
Allah berfirman: {Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamad)
lantara karunia (Kenabian, Al-Qur’an, dan kemenangan) yang Allah
berikan kepadanya. Sungguh Kami telah memberikan kitab dan hikmah
kepada keluarga ibrohim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan
yang besar}. (An-Nisa’:54)
Syaikul Islam berkata: “Telah
dikatakan bahwa jasad tidak akan luput dari sifat hasad, tetapi orang
yang mulia senantiasa menyembunyikannya (menepisnya), sedang orang yang
hina adalah orang yang selalu menampakkanya”. (Majmu’
Fatawa:10/124-125)
Syaikh Utsaimin berkata: “Sesungguhnya hasad
adalah akhlaq yang tercela, tetapi sangat disayangkan bahwa sifat hasad
tersebut ada pada para ulama, penuntut ilmu, dan para saudagar yang
kaya. Mereka saling hasad kepada saudaranya, dan setiap orang yang
mempunyai profesi hasad kepada rekannya, tetapi yang aneh bahwa sifat
ini di kalangan para ulama dan penuntut ilmu lebih banyak dan besar,
padahal orang yang berilmu adalah orang yang paling lanyak untuk
menjauhi sifat yang tercela ini dan menghiasi diriya dengan akhlaq yang
mulia.
Wahai saudaraku jika engkau melihat ada seseorang yang
telah diberikan nikmat oleh Allah, maka engkau berusalah untuk menjadi
yang serupa dengannya, dan jangan sekali-kali benci terhadap nikmat
Allah tersebut, dan hendaklah engkau berdo’a: ‘ya Allah tambahkan
nikmatmu kepada dia, dan jadikan aku lebih baik darinya’. Karena
sesungguhnya hasad tidak mungkin merubah taqdir Allah”. (Kitabul
Ilmi:74)
11. Putus asa dan meremehkan diri sendiri.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Janganlah kamu putus asa dan gelisah
jika Allah belum membukakan ilmu kepada engkau, karena ulama’-ulama’
besar dan masysur pun ada diantara mereka yang tidak dibukakan sebagian
cabang ilmu agama. Diantara mereka adalah: Al-Asma’i dalam ilmu Arudh
(cabang dari ilmu bahasa arab), Ar-Rohawi seorang ahli hadits dalam
ilmu Khoth (kaedah tulisan), Ibnu Sholah dalam ilmu Mantiq (kaidah
berargumen), Abu Muslim pakar ulama Nahwu dalam ilmu Shorof, As-Suyuti
dalam ilmu Hisab (perhitungan), Abu ‘Ubaidah, Muhammad Bin Abdul Baqi
Al-Anshori, Abul Hasan Al-Qothi’I, Abu Zakaria Yahya Bin Ziyad
Al-Faro’, Abu Hamid AL-Ghozali mereka semua belum dibukakan ilmu
Nahwu”. (Hilyah:58)
Imam Al-‘Askari berkata: “Dahulu hafalan
adalah perkara yang paling susah bagiku ketika saya pertama kali
menuntut ilmu, kemudian saya paksa diri untuk membiasakanya sampai
menjadi mudah bagiku, bahkan aku menghafal Sya’ir Ru’bah dalam satu
malam padahal sya’ir ini sekitar 200 bait”. ( Al-Hattsu ‘Ala Tholabil
‘Ilmi:71)
12. Taswif (Berangan-angan belaka dan menunda waktu).
Taswif adalah seseorang bercita-cita sesuatu amal tetapi dia terus
menunda-nunda amal tersebut dengan mengatakan “nanti aja lah”
Abdullah bin umar berkata: “Suatu ketika Rosululloh memegang pundak
saya, kemudian berkata: “Jadilah engkau hidup di dunia bagikan orang
yang asing atau orang yang sedang menyebrangi jalan”. Ibnu umar berkata:
“Maksudnya jika engkau di pagi hari jangan menunda amal sampai sore,
jika kamu di sore hari jangan menunda amal sampai pagi. Manfaatkan
kesehatanmu sebelum sakitmu, dan gunakan hidupmu untuk persiapan
matimu”.(H.R Bukhori)
Para ulama salaf berkata: “Taswif termasuk pasukan iblis”. (Iqtidho’ul Ilmi Al-‘Amal:114)
Ibnul Qoyyim berkata: “Sesungguhnya angan-angan belaka adalah modal
utama bagi orang-orang yang rugi”. (Madarus Salikin:1/456-457)
13. Ta’assub terhadap salah seorang guru atau golongan.
Syaikh Al-Utsaimin berkata: “Wajib atas penuntut ilmu untuk
menghilangkan perkelompokan dan penggolongan dengan mengikat Wala’
(loyalitas) dan Baro’ (berlapas diri) kepada suatu kelompok atau suatu
golongan. Hal ini tanpa diragukan merupakan perkara yang menyelisihi
manhaj Salaf, karena salaf tidak berkempok-kelompok akan tetapi mereka
adalah kelompok yang satu. Mereka berjalan di bawah firman Allah Ta’ala {
Dia (Allah) telah menamai kalian semuanya dengan orang-orang muslim
dari dahulu } Al-Haj:78. Maka tidak ada penggolongan, pengkotakkan,
Wala’, dan Baro’ kecuali dengan apa-apa yang datang dari Rasulullah.
Sebagian orang bergabung dengan suatu golongan, kemudian ia mengokohkan
pendapat kelompok tersebut, berdalih dengan dalil-dalil mereka
walaupun terkadang dalil tersebut merupakan bantahan terhadap mereka
sendiri.
Ia juga membela golongan itu dengan mati-matian, ia
sesatkan setiap orang yang menyelihinya dengan menggunakan kaedah
‘Siapa yang tidak bergabung denganku maka ia adalah musuhku’. Sungguh
dalam islam ini tidak ada pengelompokan, sehingga ketika terjadi
pengkotakan dan perpecahan dalam tubuh kaum muslimin sampai tingkat
saling menyesatkan dan mengghibah saudaranya, mereka ditimpa kehancuran
sebagai mana Allah berfirman : {Dan taatlah kepada Allah dan RosulNya
dan janganlah kalian berbantah-bantahan (bercerai berai) yang
menyebabkan kalian menjadi gentar (porak poranda) dan hilang kekuatan
kalian } Al-Anfal:46.
Dan kita juga mendapatkan sebagian
penuntut ilmu, mereka belajar kepada seorang atau beberapa syaikh,
kemudian ia membela syaikh tersebut baik dengan dalil yang benar
ataupun batil. Kemudian ia juga membenci, menyesatkan dan membid’ahkan
orang-orang yang menyelisihi syaikhnya, dan ia melihat bahwa syaikhnya
adalah seorang yang pandai dan yang memperbaiki, sedangkan yang lainnya
merupakan orang yang bodoh atau orang yang merusak. Ini semua adalah
kesalahan yang fatal, dan yang wajib atas setiap orang untuk mengambil
setiap perkatan yang benar dan sesuai dengan Al-Qur’an, Sunah, dan
pemahaman para sahabat dari siapapun orangnya”. (Kitabul Ilmi:80-81)
14. Memuji diri dan bangga dengan pujian.
Allah ta’ala berfirman: { Janganlah sekali-kali kalian menyangka bahwa
orang yang gembira dengan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka
suka supaya dipuji terhadap pekerjaan yang belum mereka kerjakan,
janganlah kalian menyangka bahwa mereka bebas dari siksa, bagi
merekalah siksa yang pedih }. (Ali ‘Imron:188)
Allah ta’ala
berfirman: {Maka janganlah kalian merekomendasikan (memuji) diri-diri
kalian. Diala (Allah) yang paling mengetahui siapakah orang yang
bertaqwa}. (An-Najm:32)
Para ulama berkata: “Orang yang berakal
adalah orang yang mengetahui kadar dirinya dan tidak terpedaya dengan
pujian orang-orang yang tidak mengetahuinya”. (Dzail Thobaqot
Hanabilah:1/148)
Abu Bakar As-Siddiq mendengar bahwa orang-orang
telah memujinya, maka beliau berkata: “ya Allah sesungguhnya Engkau
adalah zat yang lebih mengetahui diriku dari pada aku sendiri, dan saya
adalah orang yang lebih mengetahui akan diriku dari pada mereka, maka
jadikanlah aku wahai Allah ta’ala orang yang lebih baik dari apa yang
mereka kira, dan janganlah Engkau siksa aku karena ucapan mereka, dan
ampunilah aku dengan rahmatMu dari apa-apa yang tidak mereka ketahui”
(Kitab Az-Zuhud:14 karya Ibnul Mubarok)
15. Tidak berkata tentang sesuatu yang belum diketahui.
Datang seseorang dari negeri Andalus kepada Imam malik Bin Anas untuk
menanyakan 42 masalah, tetapi Imam Malik hanya menjawab dua pertanyaan,
sedangkan empat puluh pertanyaan beliau cuma berkata: “La Adri” (saya
tidak tahu). Maka terheran-heran orang tersebut kemudian berkata: “Kamu
itu Imam Malik tetapi kenapa engkau tidak tahu!”. Kemudian beliau
berkata: “Beritahu kepada orang-orang di negerimu bahwa Malik tidak
mengetahui”. (Ma’alim:273-274)
Al-Qosim Bin Muhamad suatu ketika
ditanya, maka beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau
berkata: “Demi Allah jika seandainya seseorang hidup dalam keadaan
bodoh asalkan ia mengetahui hak-hak Allah yang wajib ia tunaikan, ini
lebih mulia dari pada orang yang berkata tentang apa yang ia tidak
mengetahuinya”. ( Jami’ Bayanil Ilmi:2/53)
Ditulis oleh:
THOLIBIL ILMI AL-FAQIR ‘ILA ROHMATILLAH WA ‘AFWIHI
ABUL ABBAS THOBRONI (Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Imam
Syafi’i, Pekalongan – Jawa Tengah ). Semoga Allah mengampuni dosa-dosa
penulis, orang tua, dan karib kerabatnya serta kita semua..