Seorang muslim tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan orang lain. Jangan sampai ia mengkafirkan seseorang yang sebenarnya masih muslim. Jika dia vonis seseorang sebagai kafir, padahal orang itu masih muslim, maka bisa jadi predikat kekafiran berbalik pada dirinya.
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (muslim): Wahai kafir, maka akan kembali pada dua kemungkinan. Bisa jadi benar seperti yang diucapkan, jika tidak (predikat kekafiran) akan kembali kepadanya (orang yang mengucapkan) (H.R al-Bukhari dan Muslim no 92).
Hal yang perlu dipahami adalah: Tidak semua orang yang melakukan perbuatan, mengucapkan ucapan, atau keyakinan kekufuran sekaligus menjadi kafir. Bisa saja ucapan atau perbuatannya adalah kekafiran, tapi belum tentu orangnya kafir. Mungkin saja orang tersebut melakukan atau berbicara hal itu dalam keadaan tidak tahu, tidak sengaja, terpaksa, lupa, atau terkena syubhat dan belum tegak hujjah padanya, sehingga dia bukanlah seorang yang kafir.
Contohnya adalah seseorang yang memiliki keyakinan kufur, namun karena ketidaktahuannya, Allah ampuni dia. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ada seseorang yang berpesan kepada anaknya agar kalau dia mati, bakarlah tubuhnya dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Ia takut kepada Allah. Ia takut akan adzab Allah dan beranggapan jika jasadnya terbakar dan debunya dipencar, tidak akan membangkitkan ia lagi dan tidak mengadzabnya. Namun ternyata Allah mengampuni dia. Walaupun ia tidak mengetahui sebagian dari Sifat Allah yaitu Yang Maha Berkuasa, dan meski ia memiliki bagian dari keyakinan kufur bahwa ia tidak akan dibangkitkan jika bagian tubuhnya terserak. Dia tidak terhitung kafir karena kalau kafir Allah tidak akan mengampuni dia. Ketidaktahuannya dan tidak tegaknya hujjah terhadap dia menyebabkan ia tidak dikafirkan.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Seseorang laki-laki yang tidak pernah beramal kebaikan sebelumnya berkata: Jika aku mati, bakarlah jasadku, dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Demi Allah jika Allah mampu untuk mengembalikan jasadku lagi niscaya Dia akan mengadzab aku dengan adzab yang (sangat pedih) tidak ada adzab seperti itu bagi seorangpun (selainku). Kemudian Allah perintahkan lautan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya) dan Allah perintahkan daratan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya). Kemudian Allah bertanya kepadanya: Mengapa engkau melakukan hal itu? Orang itu menjawab: Karena takut kepadamu dan Engkau lebih tahu. Maka Allah mengampuninya (H.R al-Bukhari no 6952 dan Muslim no 4949)
Orang tersebut adalah orang yang beriman, karena itu ia takut kepada Allah. Ia yakin dengan adzab Allah. Ia tahu Allah Maha Mengetahui. Ia beriman kepada Allah dan hari akhir secara umum, namun ada sebagian sisi keimanan yang tidak ia ketahui.
Demikian juga orang yang mengucapkan ucapan kekufuran karena dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka ia tidaklah kafir.
…kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka ia tidak kafir)….(Q.S anNahl:106).
Demikian juga perbuatan kekufuran yang dilakukan karena tidak sengaja atau lupa, tidak terhitung pelakunya sebagai orang kafir.
Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan hal-hal dilakukannya karena dipaksa (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany).
Hal lain yang menghalangi seseorang dikafirkan adalah jika ia melakukan atau mengucapkan karena ta’wil (penafsiran) yang keliru. Sebagai contoh, Sahabat Nabi Qudaamah bin Mazh-‘un keliru dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran. Beliau menganggap bahwa ayat ke-93 dari surat al-Maaidah adalah membolehkan khamr bagi orang yang beriman. Beliau tidak dikafirkan oleh Umar bin al-Khottob dan para Sahabat yang lain karena kekeliruan penafsiran itu. Hanya saja Umar membantah penyimpangan/ kesalahan penafsiran itu, menegakkan hujjah padanya, kemudian setelah jelas kesalahannya, Umar menghukum beliau karena meminum khamr. Kisah tersebut diriwayatkan dalam Sunan anNasaai dan Mushonnaf Abdurrozzaq.
Seseorang yang memiliki akidah yang keliru, jika kekeliruannya adalah karena menta’wilkan, maka ia tidak dikafirkan. Syaikh Abdul Aziz arRojihi mencontohkan: Jika seseorang menolak bahwa Allah istiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy dengan tegas, maka ia bisa dikafirkan. Karena Allah telah menyatakan bahwa Dia ber-istiwa’ di atas ‘Arsy pada tidak kurang dari 7 ayat dalam al-Quran. Orang yang menolak itu berarti ia menentang al-Quran. Berbeda dengan orang yang melakukan ta’wil. Seandainya ia berkata: Maksudnya istiwa’ itu adalah istawla (menguasai). Maka orang ini meski mengucapkan kebatilan, tapi ia tidak bisa dikafirkan. Karena ia tidak menolak secara langsung tapi melakukan ta’wil (penafsiran) (disarikan dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz ar-Rojihi dalam Ta’liqoot ala Syarh Lum’atil I’tiqod (1/23)).
Di sinilah letak keadilan dan kasih sayang Ahlussunnah. Kadangkala Ahlussunnah membantah ucapan-ucapan kebatilan untuk membela kebenaran. Kemudian, orang-orang yang membela kebatilan itu tetap bersikukuh dengan kesesatannya dan bahkan mengkafirkan seorang Ahlussunnah tersebut. Namun si Ahlussunnah tadi tidak balik mengkafirkan orang tersebut karena ia tahu bahwa orang tersebut menyimpang karena syubhat dan menta’wilkannya. Tidak serta merta ia langsung mengkafirkan orang yang telah mengkafirkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir) menyatakan:
Karena itu, para Ulama yang mengikuti sunnah tidaklah mengkafirkan orang-orang yang menentangnya, meski penentang itu telah mengkafirkan mereka. Yang demikian karena kekufuran adalah penetapan hukum syar’i. Tidak boleh seseorang membalas dengan perlakuan yang sama (semata-mata karena ia diperlakukan demikian, pent). Sebagaimana orang yang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu, tidak boleh engkau (membalas) berdusta kepadanya dan berzina dengan istrinya. Karena kedustaan dan perbuatan zina adalah haram berdasarkan hak Allah. Demikian juga pengkafiran adalah hak Allah, tidak boleh mengkafirkan (seseorang) kecuali yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya (arRaddu alal Bakariy (2/492))
Tidak Dibolehkannya Memastikan Surga dan Neraka Bagi Seorang Muslim Tertentu
Al-Muzani menyatakan: Kita tidak memastikan surga bagi orang yang berbuat baik di antara mereka (kaum muslimin), kecuali yang telah ditetapkan kepastiannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kita juga tidak mempersaksikan kepastian neraka bagi orang yang berbuat keburukan di antara mereka (kaum muslimin).
Kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga kecuali jika telah dipastikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa orang itu masuk surga. Seperti pada para Sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih tentang 10 orang yang masuk surga, Nabi menyatakan: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Tholhah (bin Ubaidillah) di surga, az-Zubair (bin al-‘Awwaam) di surga, Sa’ad bin Maalik di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’iid bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikian juga sebagian Sahabat yang dipastikan masuk surga, seperti Bilal bin Rabah yang dinyatakan oleh Nabi bahwa beliau mendengar suara terompahnya di surga. Al-Hasan dan al-Husain (cucu beliau) yang disebut pemuka para pemuda penduduk surga. Ukkasyah bin Mihshon yang dipastikan Nabi termasuk 70 ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.
Semua penyebutan terhadap personal tertentu dalam alQuran dan hadits Nabi yang shahih bahwa ia masuk surga, kita tetapkan dan imani kebenarannya. Demikian juga untuk orang-orang tertentu yang dipastikan masuk neraka dalam al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih, maka kita juga pastikan demikian. Seperti Abu Lahab, yang dipastikan masuk neraka oleh Allah dalam surat al-Lahab. Demikian juga dengan Fir’aun, Haman, dan semisalnya. Termasuk juga seseorang yang sudah dipastikan meninggal dalam keadaan kafir, seperti meninggal sebagai Nashrani, Yahudi, atau agama-agama lain selain Islam, atau meninggal dalam keadaan murtad (keluar dari Islam), maka kita menyatakan bahwa ia adalah kafir, setiap orang yang meninggal dalam kekafiran adalah di neraka, kekal selama-lamanya.
Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi (Q.S Aali Imran:85)
Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang dzhalim (Q.S al-Maidah: 72)
Sedangkan kaum muslimin lain secara umum, secara personal kita tidak boleh memastikan apakah mereka masuk surga atau neraka. Tidak boleh kita menyatakan : Fulaan pasti masuk surga, atau Fulaan pasti masuk neraka.
Seorang muslim yang banyak berbuat ketaatan dan kebaikan, kita hanya bisa menyatakan: Kami berharap ia masuk surga, semoga ia termasuk penduduk surga. Sedangkan seorang muslim yang banyak berbuat kejahatan dan dosa, kita hanya bisa menyatakan: Kami mengkhawatirkan dirinya masuk neraka. Dengan keyakinan bahwa seorang muslim/ orang yang mentauhidkan Allah, bagaimanapun keadaannya, ujung-ujungnya ia akan masuk surga.
Tidak diperbolehkan juga bagi kita untuk menyebut seorang yang meninggal dunia dengan sebutan asy-Syahid (orang yang mati syahid) atau penyebutan kepastian lainnya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Janganlah kalian mentazkiyah (memastikan kebaikan) terhadap diri kalian. Dialah yang Maha Mengetahui siapa yang paling bertaqwa (Q.S anNajm:32).
Dalam ayat tersebut Allah melarang men-tazkiyah diri kita sendiri maupun saudara kita yang lain sesama muslim. Tidak boleh kita menyatakan bahwa kita adalah orang yang pasti masuk surga, demikian juga tidak boleh memastikan hal itu pada personal tertentu yang tidak dipastikan dalam al-Quran dan al-hadits yang shahih.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya dengan penamaan: Laa yaquul fulaan syahiid (tidak boleh menyatakan bahwa fulaan adalah syahid). Salah satu hadits yang disampaikan pada bab itu adalah kisah dalam salah satu pertempuran di masa Nabi. Seseorang yang berada di barisan kaum muslimin berperang dengan gagah berani. Hingga hal itu menakjubkan para Sahabat yang lain. Tapi Nabi menyatakan: Dia adalah penghuni neraka. Salah seorang Sahabat yang terkejut dengan ucapan Nabi itu akhirnya berusaha terus mengikuti dan memperhatikan gerak-gerak orang tersebut. Ternyata, suatu ketika saat ia sudah terluka sangat parah, ia tidak kuat menahan itu hingga bunuh diri (H.R al-Bukhari no 2683 dan Muslim no 162). Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak bisa memastikan seorang muslim pasti segera masuk surga. Kita hanya bisa berharap, semoga ia termasuk penghuni surga dan terjauhkan dari neraka.
Dalam suatu hadits yang lain dari Umar bin al-Khotthob dinyatakan:
Pada saat hari (perang) Khaibar, sekelompok para Sahabat Nabi datang dan berkata: Fulan syahid, fulan syahid, hingga melewati seseorang dan berkata: Fulan telah mati syahid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku melihatnya di neraka karena ada selendang yang dia ambil secara curang (ghulul) (H.R Muslim no 165).
Bentuk sebutan lain yang tidak diperbolehkan adalah sebutan kepastian bahwa Allah telah mengampuninya (al-Maghfur lahu) , Allah telah merahmatinya (al-Marhuum) (Ithaafus Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah minal Masaa-il karya Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh (33/13)). Kita hanya bisa mendoakan: semoga dia dirahmati Allah dengan sebutan Allah yarham, atau rahmatullah alaih, atau rahimahullah. Bisa juga dengan mendoakan ampunan untuknya: Ghafarallah lahu (semoga Allah mengampuni dia). Harus dibedakan antara persaksian atau kepastian dengan doa. Kalau persaksian tidak boleh, sedangkan doa diperbolehkan.
Kita hanya boleh mempersaksikan dengan penyebutan kalimat secara umum, bahwa orang yang beriman pasti masuk surga sedangkan orang kafir pasti masuk neraka.
Sebagian Ulama’ (di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) berpendapat bahwa jika mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan seseorang (karena ketokohannya dalam Dienul Islam), maka kita boleh mempersaksikan bahwa ia adalah penduduk surga. Sebagaimana mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan Umar bin Abdil Aziz, Imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad), al-Fudhail bin ‘Iyaadl, Abdullah bin al-Mubarak, dan semisalnya, maka kita mempersaksikan surga untuk mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian hadits, bahwa ada jenazah yang lewat di depan Nabi kemudian beberapa orang memuji kebaikan untuknya, Nabi bersabda:
Siapa yang (meninggal) kalian puji dengan kebaikan, wajib baginya surga. Barangsiapa yang (meninggal) kalian puji dengan keburukan, wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi (H.R al-Bukhari no 1278 dan Muslim no 1578)
Ucapan Nabi: Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi tidak berlaku pada semua kaum muslimin. Artinya, tidak semua kaum muslimin layak sebagai saksi.
Al-Imam as-Suyuthy berpendapat bahwa persaksian kebaikan seseorang itu baru teranggap benar jika disampaikan oleh para Sahabat Nabi atau orang yang seperti para Sahabat Nabi, yaitu orang yang terpercaya dan bertakwa. Hal itu disebabkan kadang seseorang mempersaksikan keadaan orang lain tidak secara obyektif, tapi hanya karena kedekatan hubungan, perasaan kasihan, dan semisalnya.
Al-Imam as-Suyuthy menjelaskan makna hadits tersebut:
“Kalian adalah para saksi Allah di bumi” maksudnya: yang diajak bicara dalam hadits ini adalah para Sahabat Nabi dan orang-orang yang seperti mereka dalam keimanan. Ibnut Tin menyatakan bahwa hal ini khusus untuk para Sahabat karena merekalah yang berbicara dengan hikmah, berbeda dengan orang-orang setelahnya. Namun yang benar adalah bahwa hal itu khusus untuk orang-orang yang terpercaya dan bertakwa (Haasyiah as-Suyuthy was sindi ala sunan annasaa-i no 1907)
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (muslim): Wahai kafir, maka akan kembali pada dua kemungkinan. Bisa jadi benar seperti yang diucapkan, jika tidak (predikat kekafiran) akan kembali kepadanya (orang yang mengucapkan) (H.R al-Bukhari dan Muslim no 92).
Hal yang perlu dipahami adalah: Tidak semua orang yang melakukan perbuatan, mengucapkan ucapan, atau keyakinan kekufuran sekaligus menjadi kafir. Bisa saja ucapan atau perbuatannya adalah kekafiran, tapi belum tentu orangnya kafir. Mungkin saja orang tersebut melakukan atau berbicara hal itu dalam keadaan tidak tahu, tidak sengaja, terpaksa, lupa, atau terkena syubhat dan belum tegak hujjah padanya, sehingga dia bukanlah seorang yang kafir.
Contohnya adalah seseorang yang memiliki keyakinan kufur, namun karena ketidaktahuannya, Allah ampuni dia. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ada seseorang yang berpesan kepada anaknya agar kalau dia mati, bakarlah tubuhnya dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Ia takut kepada Allah. Ia takut akan adzab Allah dan beranggapan jika jasadnya terbakar dan debunya dipencar, tidak akan membangkitkan ia lagi dan tidak mengadzabnya. Namun ternyata Allah mengampuni dia. Walaupun ia tidak mengetahui sebagian dari Sifat Allah yaitu Yang Maha Berkuasa, dan meski ia memiliki bagian dari keyakinan kufur bahwa ia tidak akan dibangkitkan jika bagian tubuhnya terserak. Dia tidak terhitung kafir karena kalau kafir Allah tidak akan mengampuni dia. Ketidaktahuannya dan tidak tegaknya hujjah terhadap dia menyebabkan ia tidak dikafirkan.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Seseorang laki-laki yang tidak pernah beramal kebaikan sebelumnya berkata: Jika aku mati, bakarlah jasadku, dan taburkan debunya sebagian di daratan dan sebagian di lautan. Demi Allah jika Allah mampu untuk mengembalikan jasadku lagi niscaya Dia akan mengadzab aku dengan adzab yang (sangat pedih) tidak ada adzab seperti itu bagi seorangpun (selainku). Kemudian Allah perintahkan lautan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya) dan Allah perintahkan daratan untuk mengumpulkan (serpihan jasadnya). Kemudian Allah bertanya kepadanya: Mengapa engkau melakukan hal itu? Orang itu menjawab: Karena takut kepadamu dan Engkau lebih tahu. Maka Allah mengampuninya (H.R al-Bukhari no 6952 dan Muslim no 4949)
Orang tersebut adalah orang yang beriman, karena itu ia takut kepada Allah. Ia yakin dengan adzab Allah. Ia tahu Allah Maha Mengetahui. Ia beriman kepada Allah dan hari akhir secara umum, namun ada sebagian sisi keimanan yang tidak ia ketahui.
Demikian juga orang yang mengucapkan ucapan kekufuran karena dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka ia tidaklah kafir.
…kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka ia tidak kafir)….(Q.S anNahl:106).
Demikian juga perbuatan kekufuran yang dilakukan karena tidak sengaja atau lupa, tidak terhitung pelakunya sebagai orang kafir.
Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan hal-hal dilakukannya karena dipaksa (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany).
Hal lain yang menghalangi seseorang dikafirkan adalah jika ia melakukan atau mengucapkan karena ta’wil (penafsiran) yang keliru. Sebagai contoh, Sahabat Nabi Qudaamah bin Mazh-‘un keliru dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran. Beliau menganggap bahwa ayat ke-93 dari surat al-Maaidah adalah membolehkan khamr bagi orang yang beriman. Beliau tidak dikafirkan oleh Umar bin al-Khottob dan para Sahabat yang lain karena kekeliruan penafsiran itu. Hanya saja Umar membantah penyimpangan/ kesalahan penafsiran itu, menegakkan hujjah padanya, kemudian setelah jelas kesalahannya, Umar menghukum beliau karena meminum khamr. Kisah tersebut diriwayatkan dalam Sunan anNasaai dan Mushonnaf Abdurrozzaq.
Seseorang yang memiliki akidah yang keliru, jika kekeliruannya adalah karena menta’wilkan, maka ia tidak dikafirkan. Syaikh Abdul Aziz arRojihi mencontohkan: Jika seseorang menolak bahwa Allah istiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy dengan tegas, maka ia bisa dikafirkan. Karena Allah telah menyatakan bahwa Dia ber-istiwa’ di atas ‘Arsy pada tidak kurang dari 7 ayat dalam al-Quran. Orang yang menolak itu berarti ia menentang al-Quran. Berbeda dengan orang yang melakukan ta’wil. Seandainya ia berkata: Maksudnya istiwa’ itu adalah istawla (menguasai). Maka orang ini meski mengucapkan kebatilan, tapi ia tidak bisa dikafirkan. Karena ia tidak menolak secara langsung tapi melakukan ta’wil (penafsiran) (disarikan dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz ar-Rojihi dalam Ta’liqoot ala Syarh Lum’atil I’tiqod (1/23)).
Di sinilah letak keadilan dan kasih sayang Ahlussunnah. Kadangkala Ahlussunnah membantah ucapan-ucapan kebatilan untuk membela kebenaran. Kemudian, orang-orang yang membela kebatilan itu tetap bersikukuh dengan kesesatannya dan bahkan mengkafirkan seorang Ahlussunnah tersebut. Namun si Ahlussunnah tadi tidak balik mengkafirkan orang tersebut karena ia tahu bahwa orang tersebut menyimpang karena syubhat dan menta’wilkannya. Tidak serta merta ia langsung mengkafirkan orang yang telah mengkafirkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Katsir) menyatakan:
Karena itu, para Ulama yang mengikuti sunnah tidaklah mengkafirkan orang-orang yang menentangnya, meski penentang itu telah mengkafirkan mereka. Yang demikian karena kekufuran adalah penetapan hukum syar’i. Tidak boleh seseorang membalas dengan perlakuan yang sama (semata-mata karena ia diperlakukan demikian, pent). Sebagaimana orang yang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu, tidak boleh engkau (membalas) berdusta kepadanya dan berzina dengan istrinya. Karena kedustaan dan perbuatan zina adalah haram berdasarkan hak Allah. Demikian juga pengkafiran adalah hak Allah, tidak boleh mengkafirkan (seseorang) kecuali yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya (arRaddu alal Bakariy (2/492))
Tidak Dibolehkannya Memastikan Surga dan Neraka Bagi Seorang Muslim Tertentu
Al-Muzani menyatakan: Kita tidak memastikan surga bagi orang yang berbuat baik di antara mereka (kaum muslimin), kecuali yang telah ditetapkan kepastiannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kita juga tidak mempersaksikan kepastian neraka bagi orang yang berbuat keburukan di antara mereka (kaum muslimin).
Kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga kecuali jika telah dipastikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa orang itu masuk surga. Seperti pada para Sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih tentang 10 orang yang masuk surga, Nabi menyatakan: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Tholhah (bin Ubaidillah) di surga, az-Zubair (bin al-‘Awwaam) di surga, Sa’ad bin Maalik di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’iid bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikian juga sebagian Sahabat yang dipastikan masuk surga, seperti Bilal bin Rabah yang dinyatakan oleh Nabi bahwa beliau mendengar suara terompahnya di surga. Al-Hasan dan al-Husain (cucu beliau) yang disebut pemuka para pemuda penduduk surga. Ukkasyah bin Mihshon yang dipastikan Nabi termasuk 70 ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.
Semua penyebutan terhadap personal tertentu dalam alQuran dan hadits Nabi yang shahih bahwa ia masuk surga, kita tetapkan dan imani kebenarannya. Demikian juga untuk orang-orang tertentu yang dipastikan masuk neraka dalam al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih, maka kita juga pastikan demikian. Seperti Abu Lahab, yang dipastikan masuk neraka oleh Allah dalam surat al-Lahab. Demikian juga dengan Fir’aun, Haman, dan semisalnya. Termasuk juga seseorang yang sudah dipastikan meninggal dalam keadaan kafir, seperti meninggal sebagai Nashrani, Yahudi, atau agama-agama lain selain Islam, atau meninggal dalam keadaan murtad (keluar dari Islam), maka kita menyatakan bahwa ia adalah kafir, setiap orang yang meninggal dalam kekafiran adalah di neraka, kekal selama-lamanya.
Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi (Q.S Aali Imran:85)
Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang dzhalim (Q.S al-Maidah: 72)
Sedangkan kaum muslimin lain secara umum, secara personal kita tidak boleh memastikan apakah mereka masuk surga atau neraka. Tidak boleh kita menyatakan : Fulaan pasti masuk surga, atau Fulaan pasti masuk neraka.
Seorang muslim yang banyak berbuat ketaatan dan kebaikan, kita hanya bisa menyatakan: Kami berharap ia masuk surga, semoga ia termasuk penduduk surga. Sedangkan seorang muslim yang banyak berbuat kejahatan dan dosa, kita hanya bisa menyatakan: Kami mengkhawatirkan dirinya masuk neraka. Dengan keyakinan bahwa seorang muslim/ orang yang mentauhidkan Allah, bagaimanapun keadaannya, ujung-ujungnya ia akan masuk surga.
Tidak diperbolehkan juga bagi kita untuk menyebut seorang yang meninggal dunia dengan sebutan asy-Syahid (orang yang mati syahid) atau penyebutan kepastian lainnya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Janganlah kalian mentazkiyah (memastikan kebaikan) terhadap diri kalian. Dialah yang Maha Mengetahui siapa yang paling bertaqwa (Q.S anNajm:32).
Dalam ayat tersebut Allah melarang men-tazkiyah diri kita sendiri maupun saudara kita yang lain sesama muslim. Tidak boleh kita menyatakan bahwa kita adalah orang yang pasti masuk surga, demikian juga tidak boleh memastikan hal itu pada personal tertentu yang tidak dipastikan dalam al-Quran dan al-hadits yang shahih.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya dengan penamaan: Laa yaquul fulaan syahiid (tidak boleh menyatakan bahwa fulaan adalah syahid). Salah satu hadits yang disampaikan pada bab itu adalah kisah dalam salah satu pertempuran di masa Nabi. Seseorang yang berada di barisan kaum muslimin berperang dengan gagah berani. Hingga hal itu menakjubkan para Sahabat yang lain. Tapi Nabi menyatakan: Dia adalah penghuni neraka. Salah seorang Sahabat yang terkejut dengan ucapan Nabi itu akhirnya berusaha terus mengikuti dan memperhatikan gerak-gerak orang tersebut. Ternyata, suatu ketika saat ia sudah terluka sangat parah, ia tidak kuat menahan itu hingga bunuh diri (H.R al-Bukhari no 2683 dan Muslim no 162). Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak bisa memastikan seorang muslim pasti segera masuk surga. Kita hanya bisa berharap, semoga ia termasuk penghuni surga dan terjauhkan dari neraka.
Dalam suatu hadits yang lain dari Umar bin al-Khotthob dinyatakan:
Pada saat hari (perang) Khaibar, sekelompok para Sahabat Nabi datang dan berkata: Fulan syahid, fulan syahid, hingga melewati seseorang dan berkata: Fulan telah mati syahid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku melihatnya di neraka karena ada selendang yang dia ambil secara curang (ghulul) (H.R Muslim no 165).
Bentuk sebutan lain yang tidak diperbolehkan adalah sebutan kepastian bahwa Allah telah mengampuninya (al-Maghfur lahu) , Allah telah merahmatinya (al-Marhuum) (Ithaafus Saa-il bimaa fit Thohaawiyyah minal Masaa-il karya Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh (33/13)). Kita hanya bisa mendoakan: semoga dia dirahmati Allah dengan sebutan Allah yarham, atau rahmatullah alaih, atau rahimahullah. Bisa juga dengan mendoakan ampunan untuknya: Ghafarallah lahu (semoga Allah mengampuni dia). Harus dibedakan antara persaksian atau kepastian dengan doa. Kalau persaksian tidak boleh, sedangkan doa diperbolehkan.
Kita hanya boleh mempersaksikan dengan penyebutan kalimat secara umum, bahwa orang yang beriman pasti masuk surga sedangkan orang kafir pasti masuk neraka.
Sebagian Ulama’ (di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) berpendapat bahwa jika mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan seseorang (karena ketokohannya dalam Dienul Islam), maka kita boleh mempersaksikan bahwa ia adalah penduduk surga. Sebagaimana mayoritas kaum muslimin mempersaksikan kebaikan Umar bin Abdil Aziz, Imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad), al-Fudhail bin ‘Iyaadl, Abdullah bin al-Mubarak, dan semisalnya, maka kita mempersaksikan surga untuk mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian hadits, bahwa ada jenazah yang lewat di depan Nabi kemudian beberapa orang memuji kebaikan untuknya, Nabi bersabda:
Siapa yang (meninggal) kalian puji dengan kebaikan, wajib baginya surga. Barangsiapa yang (meninggal) kalian puji dengan keburukan, wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi, kalian adalah para saksi Allah di bumi (H.R al-Bukhari no 1278 dan Muslim no 1578)
Ucapan Nabi: Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi tidak berlaku pada semua kaum muslimin. Artinya, tidak semua kaum muslimin layak sebagai saksi.
Al-Imam as-Suyuthy berpendapat bahwa persaksian kebaikan seseorang itu baru teranggap benar jika disampaikan oleh para Sahabat Nabi atau orang yang seperti para Sahabat Nabi, yaitu orang yang terpercaya dan bertakwa. Hal itu disebabkan kadang seseorang mempersaksikan keadaan orang lain tidak secara obyektif, tapi hanya karena kedekatan hubungan, perasaan kasihan, dan semisalnya.
Al-Imam as-Suyuthy menjelaskan makna hadits tersebut:
“Kalian adalah para saksi Allah di bumi” maksudnya: yang diajak bicara dalam hadits ini adalah para Sahabat Nabi dan orang-orang yang seperti mereka dalam keimanan. Ibnut Tin menyatakan bahwa hal ini khusus untuk para Sahabat karena merekalah yang berbicara dengan hikmah, berbeda dengan orang-orang setelahnya. Namun yang benar adalah bahwa hal itu khusus untuk orang-orang yang terpercaya dan bertakwa (Haasyiah as-Suyuthy was sindi ala sunan annasaa-i no 1907)