Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Beruntunglah orang yang bersikap adil di hadapan Rabbnya. Sehingga dia pun mau mengakui kebodohan dirinya sendiri tentang ilmu yang dia miliki.
Betapa bodohnya dia tentang cacat-cacat yang ada di dalam amalnya. Betapa bodohnya dia tentang aib-aib yang ada pada dirinya sendiri. Dan betapa jelek kualitas pengabdiannya kepada Allah. Begitu zalim mu’amalahnya kepada Allah.
Kalau pun Allah menghukumnya gara-gara dosa yang dia perbuat, maka dia memandangnya sebagai bentuk keadilan dari-Nya. Dan apabila dia tidak dihukum oleh-Nya maka baginya itu merupakan karunia dari-Nya.
Kalau dia bisa melakukan kebaikan maka dia pun memandang hal itu sebagai salah satu bentuk karunia dan sedekah Allah kepada dirinya. Dan kalau kemudian Allah menerima amalnya maka itu adalah kenikmatan dan sedekah yang kedua. Kalaupun seandainya Allah menolak amalnya maka itu berarti amal (jelek) semacam itu memang tidak layak dipersembahkan kepada-Nya.
Kalau dia melakukan keburukan maka dia memandangnya sebagai akibat dari lepasnya pertolongan dan perhatian Allah kepadanya, dan juga karena Allah tidak lagi mau menjaga dirinya, dan itu adalah tindak keadilan-Nya kepada dirinya. Maka dia bisa menyaksikan betapa butuhnya dia kepada Rabbnya, dan betapa zalim ia kepada dirinya sendiri. Maka kalau Allah berkenan mengampuni dosanya, maka itu semata-mata terjadi karena kebaikan, kedermawanan dan kemurahan dari-Nya.
Inti dari persoalan ini adalah dia senantiasa memandang Rabbnya selalu berbuat kebaikan. Adapun dirinya dia pandang sebagai orang yang berbuat kejelekan, meremehkan, atau telah meninggalkan kewajiban. Sehingga dia dapat melihat bahwa segala hal yang menggembirakannya merupakan bagian dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan untuknya. Sedangkan segala sesuatu yang membuatnya susah adalah akibat dosanya sendiri dan bentuk keadilan yang Allah terapkan baginya…” (al-Fawa’id, hal. 36).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar Blogger Disqus