Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata:
Ditanyakan kepada Abu Utsman an Naisaburi: “Apa amalan terbaik yang pernah Anda lakukan, yang sangat Anda harapkan pahalanya?”
Ia menjawab: “Pada masa muda, keluargaku berusaha keras untuk menikahkanku, tapi aku menolaknya. Lalu datanglah seorang perempuan seraya berkata : ‘Wahai Abu Utsman, aku sungguh menginginkan dirimu. Demi Allah, aku memintamu agar bersedia menikah denganku’.
Ia pun mendatangkan ayahnya, seorang laki-laki yang fakir, yang akhirnya menikahkan aku dengan anak gadisnya. Perempuan itu sangat bergembira karenanya.
Ketika aku masuk menemui istriku, ternyata ia seorang perempuan juling, pincang dan buruk rupa. Karena begitu cintanya kepadaku, ia melarangku untuk keluar rumah. Aku pun tetap tinggal di rumah demi untuk menjaga hatinya. Aku tidak menampakkan sedikitpun kebencian kepadanya, padahal seakan-akan aku berada diatas bara kebencian kepadanya. Aku menjalani semua itu selama lima belas tahun, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain perbuatanku untuk menjaga hatinya.” (Shaid al Khathir, hal. 635-636)
Sebagian orang berpikir bahwa cinta adalah segalanya dalam sebuah kehidupan berumah tangga dan kehidupan secara umum. Padahal realitanya, kehidupan tidak hanya didasarkan atas cinta. Sebab, disana ada pengorbanan, pengayoman, kasih sayang, bersabar dalam menanggung beban, akhlak-akhlak yang terpuji, mengharapkan pahala, kesetiaan dan berbagai nilai positif lainnya. Karena itulah orang-orang yang mulia selalu memenuhi hak-hak tersebut dan menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Allah Ta’ala berfirman :
و عاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا و يجعل الله فيه خيرًا كثيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa' : 19)
Ibnul Jauzi berkata : “Ayat ini menganjurkan untuk tetap mempertahankan istri, meskipun ada perasaan benci terhadapnya. Ayat ini juga mengisyaratkan dua makna. Pertama; manusia tidak mengetahui sisi-sisi maslahat. Pasalnya, bisa jadi kebencian akan membuahkan cinta, sedang cinta akan berbuntut kebencian. Kedua; manusia hampir-hampir tidak menemukan kecintaan yang tidak mengandung kebencian sedikitpun. Maka hendaknya dia bersabar atas apa yang dibencinya demi menggapai apa yang dicintainya.” (Zâd al Masîr, II/ 42)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar Blogger Disqus