Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
Dari ‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190); at-Tirmidzi (no. 3375). Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu Majah (no. 3793) dan lafazh ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no. 29944); Al-Baihaqi (III/371)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan al-Hâkim (I/495) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)
SYARAH HADITS
Ibnu Hibban[1] meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .’”
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” [al-Ahzâb/33:41-42]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, "... Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“[al-Ahzâb/33:35]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ
"al-Mufarridûn telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa al-Mufarridûn wahai Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allâh.”[2]
Dari hadits di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang terus-menerus berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hatinya ingat kepada Allâh Azza wa Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia termasuk orang yang bertakwa. Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada saat beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya…” [Ali ‘Imrân/3:102]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَأَنْ يُذْكَرَ فَلاَ يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكْفَرَ
Hendaklah Allâh itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.[3]
Contoh teladan kita adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaannya. Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allâh dalam setiap keadaannya.[4]
Salah seorang dari tujuh orang yang dinaungi Allâh Azza wa Jalla dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya diantaranya ialah orang yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ...
“… Dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya …”[5]
Hati orang-orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak akan tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya dan jiwa orang-orang yang rindu kepada-Nya tidak tenang kecuali ingin berjumpa dengan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya dalam setiap keadaan dan memuji orang-orang yang berdzikir. Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka.’” [Ali ‘Imrân/3:191]
Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir dalam jihad, berperang menghadapi musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyak-banyak (berzikir dan berdo'a) agar kamu beruntung.” [al-Anfâl/8:45]
Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan dzikir sesudah shalat :
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allâh ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring…” [an-Nisâ’/4:103]
Yang dimaksud shalat pada ayat ini adalah shalat khauf (shalat pada saat takut). Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ/4:103]
Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir sesudah melaksanakan ibadah haji. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu...” [al-Baqarah/2:200]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan juga berdzikir ketika kita sedang duduk atau berada di majelis.
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ الله فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ
Barangsiapa duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, pastilah dia mendapatkan kerugian dari Allâh, dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allâh, pastilah mendapatkan kerugian dari Allâh.[6]
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَلَهُمْ.
Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allâh dan tidak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka. Maka jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksa mereka dan jika menghendaki, Dia akan mengampuni mereka.”[7]
مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
Setiap kaum yang bangkit dari suatu majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, maka selesainya majelis itu seperrti bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kamat).[8]
Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir dengan dzikir yang banyak pada saat mencari nafkah dan sesudah shalat jum’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.” [al-Jumu’ah/62:10]
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menggabungkan antara usaha mencari karunia (mencari nafkah) dengan banyak dzikir kepada-Nya. Oleh karena itu, ada hadits tentang keutamaan dzikir di pasar-pasar dan tempat-tempat melalaikan seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ دَخَلَ السُّوْقَ فَقَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِـيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ
Barangsiapa memasuki pasar, sedang di dalamnya ada sesuatu yang diteriakkan dan diperjual-belikan kemudian berkata, ‘Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kerajaan dan pujian milik-Nya. Dia menghidupkan, mematikan, Mahahidup, dan tidak mati. Seluruh kebaikan ada di Tangan-Nya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ maka Allâh menulis baginya satu juta kebaikan, menghapus satu juta kesalahan darinya, dan mengangkat satu juta derajat baginya [9].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan yang besar dalam berdzikir di pasar, karena pasar adalah tempat yang banyak orang berbohong, menipu, sumpah palsu, dan maksiat-maksiat lainnya. Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allâh, maka ia berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar dia menggerakkan mulutnya, itu lebih baik.”[10]
DZIKIR SIANG DAN MALAM
Sebagaimana diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin berdzikir kepada-Nya setiap siang dan malam sebanyak lima kali dengan cara mendirikan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain kelima shalat tersebut, Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan mereka berdzikir sebanyak-banyaknya. Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat agar manusia berdzikir kepada-Nya (mengingat Allâh) dan juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan shalat-shalat sunnah, dan mengisi waktu-waktunya dengan amal-amal yang wajib dan sunnah agar manusia senantiasa ingat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâha/20:14]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman yang artinya, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allâh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [al-‘Ankabût/29:45]
Al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat itu mencakup dua hal : (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan kemungkaran, artinya mengerjakan shalat dengan rutin bisa mengantarkan kepada sikap meninggalkan hal-hal tersebut... (kedua) shalat mencakup pula upaya mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , inilah tuntutan terbesar”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya dalam shalat terdapat (dua hal): (Pertama) menolak sesuatu yang dibenci-yaitu perbuatan keji dan mungkar-, dan (Kedua) mewujudkan sesuatu yang dicintai, yaitu dzikir (mengingat) Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian, tercapainya sesuatu yang dicintai ini lebih besar daripada menolak hal yang dibenci tersebut. Karena dzikirullâh Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu ibadah yang semata-mata karena Allâh, dan ibadah hati kepada Allâh adalah tujuan inti yang diinginkan. Adapun tertolaknya kejelekan dari hati, maka hal itu dimaksudkan karena selain-Nya, yaitu sebagai penyerta saja.”[12]
Maksudnya apabila ia ikhlas dalam berdzikir dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka perbuatan keji dan munkar akan tertolak dari hatinya. Wallaahu a’lam.
Dzikir dengan lisan, disyariatkan di semua waktu dan disunnahkan di sebagian waktu dengan sunnah mu-akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Dzikir-dzikir dilakukan dengan hati dan lisan. Hati mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dan lisan melafadzkan dzikir-dzikir tersebut, dan anggota tubuh melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
Misalnya, lafadz Lâ ilâha illallâh, seseorang yang mengucapkan lafadz ini harus tahu tentang makna Lâ ilâha illallâh, hatinya wajib meyakini bahwa Allâh satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, semua sesembahan yang disembah oleh manusia adalah batil. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh. Kemudian seorang hamba wajib melaksanakan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allâh saja dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Oleh karena itu, dzikir merupakan amal. Hal itu tampak dalam al-Qur'ân, bagaimana amal-amal shalih itu senantiasa disertai dzikir.
Lâ ilâha illallâh yang merupakan syahadat adalah dzikir paling afdhal (utama).
Di antara waktu berdzikir yang ditekankan ialah berdzikir setelah shalat wajib lima waktu yaitu berdzikir sebanyak seratus kali. Dzikirnya berbentuk tasbih yaitu membaca سُبْحَانَ الله (33x), tahmîd yaitu membaca ِاَلْـحَمْدُلِلَّـه (33x), takbir yaitu membaca اَللَّـهُ أَكْبَر (33x), dan ditutup dengan
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Dzikir juga disunnahkan setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar. Jadi, dzikir pagi disyariatkan setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Dzikir sore disyari’atkan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Kedua waktu ini adalah waktu siang yang paling baik untuk berdzikir. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin berdzikir di kedua waktu tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. [al-Ahzâb/33:42]
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan sebutlah nama Rabbmu pada (waktu) pagi dan petang [al-Insân/76:25]
Juga firman-Nya, yang artinya, "…Dan sebutlah (nama) Rabb-mu banyak-banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi hari.“ [Ali ‘Imrân/3:41]
Juga firman-Nya, yang artinya, "…Allâh mewahyukan kepada mereka, ‘Bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.’“ [Maryam/19:11]
Juga firman-Nya, yang artinya, "Maka bertasbihlah kepada Allâh pada petang hari dan pada pagi hari (waktu subuh).” [ar-Rûm/30:17]
Juga firman-Nya, yang artinya, " … Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu petang dan pagi.”[Ghâfir/40:55]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Dzikir yang paling baik yang dikerjakan di kedua waktu tersebut ialah sesudah shalat Shubuh dan shalat Ashar yang merupakan shalat paling utama, shalat Ashar yang disebut juga shalat wustha. Barangsiapa yang menjaga kedua shalat tersebut (Shubuh dan Ashar), maka ia masuk Surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang menjaga kedua shalat (Shubuh dan Ashar) maka ia masuk Surga.[13]
Dzikir pagi sesudah shalat Shubuh dan dzikir sore sesudah shalat Ashar. Dzikir di kedua waktu ini lebih baik dari amal lainnya, kemudian sesudah (berdzikir) itu membaca al-Qur'ân. Dzikir-dzikir dan do'a-do'adi pagi dan sore hari yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali.[14]
Waktu lainnya setelah kedua waktu tersebut ialah malam hari. Oleh karena itu, tasbih dan shalat malam hari disebutkan di al-Qur'ân setelah kedua waktu tersebut.
Jika setelah shalat Isya’ ia ingin tidur, ia disunnahkan tidur dalam keadaan suci dan berdzikir. Ia bertasbih, bertahmid, bertakbir, sebanyak seratus kali seperti diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan Fathimah Radhiyallahu anhuma. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keduanya berbuat seperti itu jika hendak tidur, dilanjutkan dengan dzikir-dzikir menjelang tidur yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzikir-dzikir menjelang tidur itu bervariasi, misalnya membaca al-Qur'ân, dan berdizkir kepada Allâh. Setelah itu, ia baru tidur.[15]
Jika ia bangun di tengah malam dan berubah posisi di ranjangnya, hendaklah ia berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla setiap kali ia berubah posisi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang bangun dari tidurnya kemudian berkata :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian milik-Nya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allâh, segala puji bagi Allâh, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh, Allâh Maha Besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allâh
، ثُمَّ قَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِيْ ، أَوْ قَالَ : ثُمَّ دَعَا اسْتُجِيْبَ لَهُ ، فَإِنْ عَزَمَ وَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ صَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتَهُ .
Kemudian berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku,’ –atau beliau bersabda, kemudian ia berdo'a-, maka do'anya dikabulkan. Jika ia berwudhu kemudian shalat, maka shalatnya diterima.”[16]
Seorang suami bangun untuk shalat malam kemudian dia membangunkan istrinya untuk shalat maka keduanya termasuk orang yang banyak berdzikir . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا –أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَ مِنَ الذَّاكِرِيْنَ الله كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.
Apabila seorang suami membangunkan istrinya di malam hari, lalu keduanya shalat –atau masing-masing melakukan shalat dua rakaat- maka keduanya dicatat sebagai laki-laki dan wanita yang banyak mengingat Allâh.[17]
Kemudian selesai tahajjud dan witir hendaknya beristighfar pada waktu sahur, karena Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
(Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. [Ali ‘Imrân/3:17]
Jika fajar telah terbit, ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat kemudian mengerjakan shalat Shubuh. Setelah itu, ia sibuk dengan dzikir yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai matahari terbit seperti telah disebutkan.
Barangsiapa kondisinya seperti itu, maka lidahnya tidak henti-hentinya basah oleh dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia berdzikir ketika hendak tidur, ketika badan berbolak-balik di tempat tidur, kemudian mulai berdzikir lagi ketika bangun tidur. Ini bukti kebenaran cinta kepada Allâh Azza wa Jalla .
Dan urusan agama dan dunia yang pertama kali dikerjakan seseorang di pertengahan malam dan siang, maka sebagian besar darinya disyariatkan dzikir dengan nama Allâh. Dzikir dengan nama Allâh dan memuji-Nya disyariatkan ketika ia makan, minum, berpakaian, melakukan hubungan suami-istri, masuk rumah, keluar rumah, masuk dan keluar kamar mandi, naik kendaraan, menyembelih, dan lain sebagainya.
Ia disyariatkan memuji Allâh Azza wa Jalla ketika bersin, berlindung dan memohon keselamatan ketika melihat orang-orang yang diuji dalam agama dan dunia, mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang Muslim, menjenguk dan mendo'akan mereka ketika sakit, memuji Allâh Azza wa Jalla ketika mendapatkan nikmat baru yang ia sukai dan hilangnya sakit yang dibencinya. Yang paling sempurna dari itu semua adalah ia memuji Allâh pada saat suka, duka, krisis, dan dapat rezeki. Jadi ia memuji Allâh dalam semua keadaan dan kondisi.
Ia disyariatkan berdzikir dan berdo'akepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk pasar, mendengar suara kokok ayam di malam hari, mendengar petir, hujan turun, angin bertiup kencang, melihat bulan, dan melihat pohon pertama kali berbuah.
Ia juga disyari’atkan berdzikir dan berdo'a kepada Allâh ketika sakit, mendapatkan musibah, ketika akan keluar untuk bepergian, berhenti di tempat-tempat dalam perjalanannya dan ketika tiba dari perjalanan dan dzikir-dzikir lainnya.
Ia disyariatkan berlindung kepada Allâh ketika marah, melihat sesuatu yang tidak disukainya di dalam mimpinya, mendengar suara anjing dan keledai di malam hari.
Ia disyariatkan istikhârah (meminta pilihan) kepada Allâh ketika menginginkan sesuatu yang ia belum memiliki pilihan di dalamnya.
Seorang Muslim diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk segera bertaubat kepada-Nya dan istighfar dari seluruh dosa, dosa-dosa besar maupun kecil. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]
Barangsiapa melakukan dzikir mulai bangun tidur sampai ia tidur kembali, dan ia melakukan semua itu dengan konsisten, ikhlas dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka lidahnya akan terus menerus basah oleh dzikir kepada Allâh dalam semua kondisi.
Seorang Mukmin hendaknya menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla, berdo’a, berdzikir, mencari nafkah, menuntut ilmu, dan lainnya. Dan yang paling mudah yaitu berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , karena seorang Mukmin dapat berdzikir dimana saja dan kapan saja bisa dilakukan ketika ia berjalan, berkendaraan, naik bis, kereta, ketika menunggu bis dan kereta atau angkutan umum. Lisan ini harus selalu basah dengan berdzikir kepada Allâh kepada setiap waktu dan hal ini mudah dan ringan, bisa dilakukan oleh setiap Mukmin dan Mukminah. Bahkan seorang mukminah dia bisa berdzikir ketika menggendong anaknya, menyusui anaknya, atau ketika masak dan lainnya.
KEUTAMAAN DZIKIR
Dengan dzikir, hati akan menjadi tenang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh hati menjadi tentram. [ar-Ra’d/13:28]
Diriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُُنَبِّئُكُمْ بِخَيرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ ؟ قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : (( ذِكْرُاللهِ تَعَالَى))
Maukah kamu aku tunjukkan amalan yang terbaik dan paling suci di sisi Rabbmu, dan paling mengangkat derajatmu, lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata, “Mau wahai Rasûlullâh!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir kepada Allâh Yang Maha Tinggi.”[18]
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ ، مَثَلُ الْـحَيِّ وَ الْـمَيِّتِ
Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir kepada Rabbnya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati [19]
FAEDAH ATAU MANFAAT DZIKIR (MENGINGAT ALLAH AZZA WA JALLA)
Manfaat dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla banyak sekali, di antaranya yaitu:
1. Mengusir setan, menundukkan dan mengenyahkannya.
2. Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati.
3. Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan dalam hati.
4. Melapangkan rizki dan mendatangkan barakah.
5. Membuahkan ketundukan, yaitu berupa kepasrahan diri kepada Allâh dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allâh dengan cara berdzikir, maka dalam keadaan seperti apapun dia akan kembali kepada Allâh dengan hatinya, sehingga Allâh menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
6. Membuahkan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allâh, maka sejauh itu pula kedekatannya kepada Allâh, dan seberapa jauh ia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkannya dari Allâh.
7. Membuat hati menjadi hidup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, "Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan, maka bagaimana keadaan yang akan terjadi pada ikan seandainya berpisah dengan air ??? "
8. Membersihkan hati dari karatnya, karena segala sesuatu ada karatnya dan karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini adalah dengan taubat dan istighfar.
9. Hamba yang mengenal Allâh, dengan cara berdo'adan berdzikir saat lapang, maka Allâh akan mengenalnya disaat ia menghadapi kesulitan.
10. Menyelamatkannya dari adzab Allâh sebagaimana yang dikatakan Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan dia memarfu'kannya " Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allâh, selain dari dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla "[20].
11. Menyebabkan turunnya ketenangan, datangnya rahmat dan para Malaikat mengelilingi orang yang berdzikir, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
12. Menyibukkan lisan dari melakukan ghibah, adu domba, dusta, kekejian dan kebathilan.
Sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk berbicara yang baik, jika bicaranya bukan dzikir kepada Allâh, tetapi berupa hal-hal yang diharamkan ini, maka tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dengan dzikir kepada Allâh.
Cukup banyak pengalaman dan kejadian yang membuktikan hal ini. Siapa yang membiasakan lidahnya untuk berdzikir, maka lidahnya lebih terjaga dari kebathilan dan perkataan yang sia-sia. Namun siapa yang lidahnya tidak pernah mengenal dzikir, maka kebathilan dan kekejian banyak terucap dari lidahnya.
13. Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan di hari kiamat. Karena majlis yang didalamnya tidak ada dzikir kepada Allâh, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
14. Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.[21]
Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba yang ikhlas dan banyak berdzikir yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
Dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
[1]. Shahih: HR. Ibnu Hibbân (no. 815-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[2]. HR. Muslim (no. 2676).
[3]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4]. Shahih: HR. Muslim (no. 373), Abu Dâwud (no. 18), at-Tirmidzi (no. 3384), dan selainnya.
[5]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 660), Muslim (no. 1031), at-Tirmidzi (no. 2391), dan Ahmad (II/439).
[6]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4856); Shahîh Abi Dâwud (III/920, no. 4065) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3380), Ahmad (II/446, 453, 481) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 74).
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4855), Ahmad (II/389), al-Hâkim (I/492), dan lainnya. al-Hâkim berkata, “Bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 77) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Ahmad (I/47), at-Tirmidzi (no. 3428, 3429), Ibnu Mâjah (no. 2235), ad-Dârimi (II/293), al-Baghawi (no. 1338), ath-Thabrani dalam ad-Du’â (no. 792-793) dari Shahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma. Dishahihkan oleh al-Hâkim (I/538) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 3139).
[10]. Hilyatul Auliyâ’ (IV/227).
[11]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VI/280-282) dengan diringkas.
[12]. al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121), tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 635).
[14]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, cet ke-12, Jakarta.
[15]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid dan Dzikir Pagi dan Petang, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[16]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3414), Ibnu Mâjah (no. 3878).
[17]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1309) dan Ibnu Mâjah (no. 1335) dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Syaikh al-Albani berkata dalam Takhrîj Hidâyatir Ruwât (II/49, no. 1194), “Isnadnya shahih. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan al-‘Iraqi.
[18]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3377), Ibnu Mâjah (no. 3790), dan al-Hâkim (I/ 496) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. Lafazh hadits ini lafazh at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[19]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6407)/Fathul Baari (XI/208).
[20]. HR. Ahmad (V/239).
[21]. Diringkas dari Shahîh al-Wâbilus Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, takhrij Syaikh Slaim bin ‘Ied al-Hilali. Lihat juga buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[2]. HR. Muslim (no. 2676).
[3]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4]. Shahih: HR. Muslim (no. 373), Abu Dâwud (no. 18), at-Tirmidzi (no. 3384), dan selainnya.
[5]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 660), Muslim (no. 1031), at-Tirmidzi (no. 2391), dan Ahmad (II/439).
[6]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4856); Shahîh Abi Dâwud (III/920, no. 4065) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3380), Ahmad (II/446, 453, 481) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 74).
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4855), Ahmad (II/389), al-Hâkim (I/492), dan lainnya. al-Hâkim berkata, “Bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 77) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Ahmad (I/47), at-Tirmidzi (no. 3428, 3429), Ibnu Mâjah (no. 2235), ad-Dârimi (II/293), al-Baghawi (no. 1338), ath-Thabrani dalam ad-Du’â (no. 792-793) dari Shahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma. Dishahihkan oleh al-Hâkim (I/538) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 3139).
[10]. Hilyatul Auliyâ’ (IV/227).
[11]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VI/280-282) dengan diringkas.
[12]. al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121), tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 635).
[14]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, cet ke-12, Jakarta.
[15]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid dan Dzikir Pagi dan Petang, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[16]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3414), Ibnu Mâjah (no. 3878).
[17]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1309) dan Ibnu Mâjah (no. 1335) dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Syaikh al-Albani berkata dalam Takhrîj Hidâyatir Ruwât (II/49, no. 1194), “Isnadnya shahih. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan al-‘Iraqi.
[18]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3377), Ibnu Mâjah (no. 3790), dan al-Hâkim (I/ 496) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. Lafazh hadits ini lafazh at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[19]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6407)/Fathul Baari (XI/208).
[20]. HR. Ahmad (V/239).
[21]. Diringkas dari Shahîh al-Wâbilus Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, takhrij Syaikh Slaim bin ‘Ied al-Hilali. Lihat juga buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.