“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)
Lisan sering dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah, namimah, dusta, mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap. Terasa ringan tanpa beban, seakan tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang, menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang namanya lisan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menerangkan, “Kaum muslimin selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang. Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”
Beliau Rahimahullah juga menyatakan, “Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara). Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini. Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia –wal ‘iyadzubillah– bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/764)
عن عائشة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يَا عَائِشَةَ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنِ وَدَعَهُ-أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ- اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan (atau dijauhi) oleh manusia karena takut akan kekejiannya”. (Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhariy: 6032, 6054, 6131, al-Adab al-Mufrad: 1311, Muslim: 2591, at-Turmudziy: 1996 dan Ahmad: VI/ 38. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 984, Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1624, Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir: 7925, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: 1049 dan Misykaah al-Mashoobiih: 4829).
Shadaqah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Uyainah menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Al Munkadir berkata:
Urwah bin Zubair mendengar Aisyah radhiyallahu anha mengabarkan kepadanya, “Seorang laki-laki meminta izin menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Izinkanlah dia masuk. Sungguh dia seburuk-buruk teman bergaul.’ Ketika lelaki itu masuk, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melemahlembutkan perkataan kepadanya. Maka aku berkata,
‘Wahai Rasulullah engkau mengatakan apa yang engkau katakan, kemudian engkau melemahlembutkan perkataan kepadanya?
Beliau bersabda, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan manusia –atau dihindari manusia –karena takut akan kejahatannya.”
(Hadits ini terdapat di Kitab Adabul Mufrad karya Imam Bukhari. Dinyatakan Shahih oleh al Imam Al Albani dalam Shahih Adabul Mufrad. Lihat Silsilah Hadits Shahihah (1049) [Al Bukhari (78) kitab al Adab (38) bab Lam Yakunin Nabi Shallallahu alaihi wa sallam fahisyan, Muslim (45) kitab al Birr wash shilah (hadits 73)])
Maksudnya, jika ada seorang hamba dijauhi oleh orang lain lantaran takut dan khawatir akan perbuatan buruk dan jahatnya yang ditimpakan kepadanya berupa pukulan, pencurian, penipuan dan sejenisnya dari amalan tangan, atau ghibah, fitnah, namimah, cacian dan semacamnya dari amalan lisan, maka ia adalah orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak. Ia akan dijauhkan dari surga dan akan dijerumuskan ke dalam neraka dalam keadaan hina dina.
Manusia menghindar karena keburukan akhlaknya, mungkin untuk menghindari ketajaman lisannya, mungkin untuk menghindari kekasaran sikapnya….kata-katanya tajam bak sembilu…sangat merugi jika dijauhi oleh manusia…ruginya adalah: semakin tipis, semakin kecil pintu nasehat terbuka untuknya…..orang takut memberi nasehat karena keburukan akhlaknya….
Namun jika ia djauhi oleh orang lain lantaran sikapnya yang tepat dan tegas dalam mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah Ta’ala maka hal itu tidaklah tercela dan bahkan kelak akan mendapat pujian dan sanjungan dari-Nya. Bayangkan jika dirimu jadi korban dan objek dari kejahatan lisan orang lain, maka bagaimana perasaanmu?. Niscaya engkaupun akan merasakan pahit dan getirnya hidup. Engkau pasti berharap, agar orang itu menghentikan kejahatannya padamu, hilangnya keburukan yang dilakukan oleh lisan orang-orang padamu dan kehidupanmu dapat berangsur normal lagi seperti sediakala. Jika engkau tidak ingin dicubit, maka jangan sekali-kali mencubit orang lain.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menasihatkan, “Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Wahai saudara-saudaraku seiman, jagalah lisanmu dari mengucap berbagai hal yang dilarang oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peliharalah tanganmu dari menulis berbagai perkara yang telah diharamkan oleh keduanya. Niscaya kalian akan selamat dari ujian dunia, fitnah kubur dan siksa neraka pada hari kiamat. Janganlah lisanmu berucap atau tanganmu menulis kecuali yang baik-baik dan diridloi oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Berkata pula Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah, “Hendaknya seorang mukmin mendapati tiga hal ini dari Anda. Jika Anda tidak bisa memberi manfaat kepadanya, janganlah memberinya mudarat; jika Anda tidak mampu membuatnya gembira, janganlah membuatnya sedih; dan jika Anda tidak memberi pujian kepadanya, janganlah mencelanya.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, hlm. 456)