Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
5. CONTOH YANG UNIK DAN INDAH MENGENAI LUHURNYA AHLAK SALAF TERHADAP ISTERI-ISTERI MEREKA.
Umat Islam generasi awal (banyak) dipengaruhi oleh arahan-arahan Ilahi dan bimbingan-bimbingan Nabi agar berakhlak baik terhadap keluarga mereka, dan mereka benar-benar melakukannya. Inilah sebagian kisah mereka tentang hal itu.[1]
Ahmad bin 'Anbar menuturkan bahwa ketika ibu Shalih bin Ahmad bin Hanbal meninggal, Ahmad berkata kepada seorang wanita yang ada di sisi mereka, “Pergilah kepada fulanah puteri pamannya (sepupu Ummu Shalih), lalu pinanglah dia untukku.” Ia pun datang kepadanya, dan dia memberikan jawaban kepadanya. Ketika utusan itu datang kepada Ahmad, maka Ahmad mengatakan, “Apakah saudara perempuannya mendengar pembicaraanmu?” Penutur mengatakan: “Wanita ini bermata satu.” Ia menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Pergilah lalu pinanglah wanita yang bermata satu itu.” Ia pun datang kepadanya, dan wanita tersebut memenuhinya. Dia adalah ibu ‘Abdullah, puteranya. Kemudian Ahmad tinggal bersamanya selama tujuh hari, kemudian wanita ini bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau melihat(ku), wahai anak pamanku? Apakah engkau mengingkari sesuatu?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali sandalmu ini bersambung.” Lalu ia menjualnya dan membeli yang terputus untuk dipakainya.”[2]
Seorang pria menikah dengan seorang wanita. Ketika wanita ini menemuinya, pria ini melihat isterinya berpenyakit cacar, maka dia mengatakan, “Mataku pedih.” Kemudian dia mengatakan, “Aku buta.” Setelah 20 tahun, isterinya meninggal, tapi ia tidak tahu bahwa mata suaminya bisa melihat. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai hal itu, dia menjawab, “Aku tidak suka pandanganku terhadap penyakit yang menimpanya membuatnya bersedih hati.” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau mengungguli para pemuda.”[3]
Aku mendengar Muhammad bin Nu’aim adh-Dhahhi mengatakan, Aku mendengar ibuku berkata, Aku mendengar Maryam isteri Abu ‘Utsman berkata: Secara kebetulan aku berduaan dengan Abu ‘Utsman, maka aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku bertanya, “Wahai Abu ‘Utsman, perbuatanmu yang manakah yang paling engkau harapkan (pahalanya)?” Dia menjawab, “Wahai Maryam, ketika aku tumbuh menjadi pemuda yang tampan, dan mereka (keluargaku) menginginkanku menikah tetapi aku menolak-nya, tiba-tiba seorang wanita datang kepadaku seraya mengatakan, ‘Wahai Abu ‘Utsman, aku mencintaimu dengan cinta yang membuatku tidak bisa tidur dan gelisah. Aku memohon kepadamu demi (Allah) Yang membolak-balikkan hati dan aku mendekat kepadamu agar engkau menikah denganku.’ Aku bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai orang tua?’ Ia menjawab, ‘Ya, seorang penjahit di tempat demikian dan demikian.’ Kemudian aku mendatangi ayahnya agar menikahkannya denganku. Ia pun gembira dengan hal itu. Aku menghadirkan para saksi, lalu aku menikah dengannya. Ketika aku masuk, ternyata aku mendapatinya buta sebelah, pincang dan rupanya buruk. Maka aku berucap, ‘Ya Allah, untuk-Mu segala pujian atas apa yang Engkau tentukan untukku.’”
Keluargaku mencelaku atas hal itu, namun aku semakin berbuat baik dan memuliakannya, hingga dia tidak membiarkanku keluar dari sisinya. Akibatnya, aku meninggalkan beberapa mejelis karena lebih mementingkan kerelaannya dan menjaga hatinya. Kemudian aku tinggal bersamanya dalam keadaan demikian selama 15 tahun, dan aku seolah-olah berada di atas bara api di sebagian waktuku. Aku tidak menampakkan sedikit pun dari hal itu kepadanya hingga dia meninggal. Tidak ada sesuatu pun yang lebih aku harapkan bagiku dibanding aku memelihara perasaan hatinya terhadapku.” [4]
Seolah-olah mereka menjadi bersifat semacam ini, yaitu ber-akhlak baik dan tidak menyakiti isteri-isteri mereka, karena mereka telah mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan agar tidak bersikap keras, tapi lemah lembut dan berakhlak mulia.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاطٍ، سَخَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرٍ الدُّنْيَا، جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras lagi kasar, berteriak-teriak di pasar, bangkai di malam hari, keledai di siang hari, mengerti urusan dunia tapi bodoh dengan urusan akhirat.” [5]
Disebutkan tentang tafsir sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang keras lagi kasar.” Dikatakan bahwa dia adalah orang yang keras terhadap keluarganya lagi sombong dalam dirinya.[6]
Dari al-Harits bin Wahb al-Khuza’i, ia mengatakan: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ: كُلُّ ضَعِيْفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ: كُلُّ عَتُلٍّ جَوَّاظٍ مُستْكْبِرٍ.
‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang penghuni Surga, yaitu setiap orang yang lemah lagi dilemahkan, yang seandainya bersumpah kepada Allah, niscaya sumpahnya akan dipenuhi. Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang ahli Neraka, yaitu setiap orang yang bengis, kasar lagi sombong.’”[7]
Dari Usamah bin Syuraik Radhiyallahu anhu secara marfu’:
أَحَبُّ عِبَادِ اللهِ إِلَى اللهِ أَحْسَنُهُمُ خُلُقًا.
“Hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka.”[8]
Dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَـا مِنْ شَيْءٍ يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ، وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ.
“Tidak ada sesuatu pun diletakkan dalam mizan (timbangan amal perbuatan) yang lebih berat dibandingkan akhlak yang baik. Orang yang memiliki akhlak yang baik, dengan akhlak tersebut, benar-benar akan mencapai derajat orang yang ahli puasa dan shalat.”[9]
Nabi memerintahkan agar berakhlak baik terhadap kaum wanita. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ: خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Kaum mukmin yang paling sempurna keimanannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian ialah yang terbaik kepada isteri-isterinya.”[10]
Kita mendapati diri kita berhadapan dengan sosok Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di akhir pembahasan ini. Hal ini agar kita mengakhiri pembahasan ini dengan baik dan berkesan. Berikut ini kita kemukakan sekelumit dari kehidupan beliau bersama para isterinya sehingga kita dapat belajar tentang akhlak yang baik, perangai yang lapang, jiwa yang lembut, dan kasih sayang serta bersabar terhadap isteri-isteri kita. Semua ini kita dapati dalam kehidupan beliau n bersama Ummaha-tul Mukminin.
Adapun kehidupan beliau di rumahnya di tengah-tengah isteri-isterinya, maka beliau adalah teladan tertinggi dalam hal kasih sayang, ketenteraman, ketenangan, tidak membebani, memberikan nafkah, dan menjauhi kata-kata yang pahit serta menyakitkan.[11]
Dari al-Aswad, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ‘Apa yang diperbuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keluarganya?’ Ia menjawab, ‘Beliau membantu isterinya lalu ketika waktu shalat telah tiba, maka beliau beranjak untuk menunaikan shalat.’”[12]
Beliaulah yang bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ.
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.”[13]
Dari ‘Urwah, ia menuturkan: “Seseorang bertanya kepada 'Aisyah, ‘Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sesuatu di rumahnya?’ Ia menjawab, ‘Ya, beliau menambal sandalnya, menjahit bajunya, dan bekerja di rumahnya sebagaimana salah seorang dari kalian berbuat di rumahnya.’”[14]
Karena kegembiraan hati dan kelapangan dadanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari bersama isterinya. Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa dia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, sedangkan ia adalah wanita yang masih muda. Ia menuturkan: “Aku bukanlah wanita yang berdaging dan tidak pula gemuk, lalu beliau berkata kepada para Sahabatnya, ‘Berangkatlah terlebih dahulu!’ Mereka pun berangkat terlebih dahulu. Kemudian beliau bersabda (kepadaku), ‘Kemarilah, aku akan mengalahkanmu.’ Aku pun berlomba dengan beliau, dan aku berhasil mengalahkan beliau. Tidak lama setelah itu aku pergi bersama beliau dalam suatu perjalanan, maka beliau berkata kepada para Sahabatnya, ‘Berangkatlah terlebih dahulu.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Kemarilah, aku akan mengalahkanmu.’ Aku lupa apa yang telah terjadi, karena tubuhku sudah berdaging dan gemuk. Maka aku katakan, ‘Bagaimana aku mengalahkanmu, wahai Rasulullah, sedangkan aku dalam keadaan demikian?’ Beliau mengatakan, ‘Engkau pasti bisa melakukannya.’ Maka aku mendahuluinya, lalu beliau mendahuluiku. Beliau tertawa seraya bersabda, ‘Ini adalah balasan untuk perlombaan yang lalu.’[15]
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa makanan yang telah aku buat untuknya, lalu aku berkata kepada Saudah yang ada antara diriku dan Nabi: ‘Makanlah,’ tetapi ia enggan memakannya, lalu aku berkata lagi kepadanya: ‘Makanlah, atau aku oleskan makanan ini di wajahmu,’ ia masih enggan memakannya. Kemudian aku oleskan makanan tersebut di wajahnya, maka Nabi tertawa dan meletakkan tangannya ke Saudah sambil bersabda kepadanya: ‘Oleskanlah makanan itu ke wajahnya!’ Maka Nabi pun tertawa.” Dan dalam riwayat lain dikatakan: “Lalu beliau pun menurunkan lututnya untuk membantunya membalasku, lalu dia pun mengambil dari makanan tersebut lalu dia oleskan di wajahku, maka Nabi tertawa.[16]
Dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Abu Bakar meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu anhu meninggikan suaranya di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengizinkannya masuk. Dia pun masuk seraya mengatakan, ‘Wahai puteri Ummu Rumman! Apakah engkau meninggikan suaramu di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ayahnya lalu mengambilnya (dalam sebuah riwayat, untuk menamparnya), tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan antara Abu Bakar dengan puterinya. Ketika Abu Bakar Radhiyallahu anhu keluar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah untuk mengambil hatinya, ‘Bukankah engkau melihat bahwa aku telah memisahkan antara orang tersebut denganmu.’ Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu datang untuk meminta izin kepada beliau, lalu dia mendapati beliau bersenda gurau dengan ‘Aisyah. Beliau pun mengizinkan kepadanya untuk masuk, maka Abu Bakar mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ajaklah aku dalam perdamaian kalian berdua sebagaimana kalian menyertakan aku dalam peperangan kalian berdua.’”[17]
Mahabenar Allah Yang Mahaagung.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaum-mu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat meng-inginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [At-Taubah/9: 128].
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
[1]. ‘Audatul Hijaab (II/409).
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/409).
[3]. Madaarijus Saalikiin (II/342).
[4]. Dinisbatkan oleh penulis ‘Audatul Hijaab kepada al-Muntazham (VI/107).
[5]. HR. Ibnu Hibban (no. 1957), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 195).
[6]. ‘Audatul Hijaab (II/409).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 4918) kitab Tafsiirul Qur-aan, Muslim (no. 2853) kitab al-Jannah wa Shifatu Na’iimiha, at-Tirmidzi (no. 2605), kitab Shifatu Jahannam, Ibnu Majah (no. 4116), kitab az-Zuhd, Ahmad (no. 18253).
[8]. Al-Mundziri mengatakan dalam at-Targhiib (III/259): “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani.” Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 433).
[9]. HR. At-Tirmidzi (no. 2003) kitab al-Birr wash Shilah, Abu Dawud (no. 4799), kitab al-Adab, dan al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib (III/256): “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang baik.”
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1162) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 4682) kitab as-Sunnah, Ahmad (no. 9756), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 284).
[11]. ‘Audatul Hijaab (II/105).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 676) kitab al-Adzaan, at-Tirmidzi (no. 2489) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Wara’, Ahmad (no. 23706).
[13]. HR. Ibnu Majah (no. 1977) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Ja’far bin Yahya, dan hadits darinya diterima, dan ‘Umarah bin Tsauban, tetapi keadaannya mastur (tertutup) dan tidak dikenal.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 676) kitab al-Adab, at-Tirmidzi (no. 2489) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Wara’, Ahmad (no. 24228).
[15]. HR. Abu Dawud (no. 2578) kitab al-Jihaad, Ibnu Majah (no. 1979) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 25745), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 276).
[16]. Syaikh Muhammad Isma’il berkata dalam ‘Audatul Hijaab (II/109): Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushili dan perawinya adalah para perawi kitab shahih kecuali Muhammad bin ‘Umar bin 'Alqamah, dan haditsnya hasan. Demikianlah yang terdapat dalam Majma’uz Zawaa-id (IV/316).
[17]. HR. Abu Dawud (no. 4999) kitab al-Adab, Ahmad (no. 17927), dan penulis ‘Aunul Ma’buud menilai bahwa semua perawinya tsiqat (XIII/344).
Artikel: almanhaj.or.id
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/409).
[3]. Madaarijus Saalikiin (II/342).
[4]. Dinisbatkan oleh penulis ‘Audatul Hijaab kepada al-Muntazham (VI/107).
[5]. HR. Ibnu Hibban (no. 1957), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 195).
[6]. ‘Audatul Hijaab (II/409).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 4918) kitab Tafsiirul Qur-aan, Muslim (no. 2853) kitab al-Jannah wa Shifatu Na’iimiha, at-Tirmidzi (no. 2605), kitab Shifatu Jahannam, Ibnu Majah (no. 4116), kitab az-Zuhd, Ahmad (no. 18253).
[8]. Al-Mundziri mengatakan dalam at-Targhiib (III/259): “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani.” Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 433).
[9]. HR. At-Tirmidzi (no. 2003) kitab al-Birr wash Shilah, Abu Dawud (no. 4799), kitab al-Adab, dan al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib (III/256): “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang baik.”
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1162) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 4682) kitab as-Sunnah, Ahmad (no. 9756), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 284).
[11]. ‘Audatul Hijaab (II/105).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 676) kitab al-Adzaan, at-Tirmidzi (no. 2489) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Wara’, Ahmad (no. 23706).
[13]. HR. Ibnu Majah (no. 1977) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Ja’far bin Yahya, dan hadits darinya diterima, dan ‘Umarah bin Tsauban, tetapi keadaannya mastur (tertutup) dan tidak dikenal.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 676) kitab al-Adab, at-Tirmidzi (no. 2489) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Wara’, Ahmad (no. 24228).
[15]. HR. Abu Dawud (no. 2578) kitab al-Jihaad, Ibnu Majah (no. 1979) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 25745), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 276).
[16]. Syaikh Muhammad Isma’il berkata dalam ‘Audatul Hijaab (II/109): Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushili dan perawinya adalah para perawi kitab shahih kecuali Muhammad bin ‘Umar bin 'Alqamah, dan haditsnya hasan. Demikianlah yang terdapat dalam Majma’uz Zawaa-id (IV/316).
[17]. HR. Abu Dawud (no. 4999) kitab al-Adab, Ahmad (no. 17927), dan penulis ‘Aunul Ma’buud menilai bahwa semua perawinya tsiqat (XIII/344).
Artikel: almanhaj.or.id