Islam adalah agama yang dibangun di atas landasan ilmu, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, dipecahkan dan diselesaikan dengan cara ilmiah. Termasuk keilmiahan Islam adalah penukilannya yang otentik dari sumber syariat yang murni, yang berasal dari Allah l dan Rasul-Nya n.
Kedua wahyu yang agung ini menjadi pedoman setiap insan yang mengharapkan jalan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Rasulullah n bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا؛ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama-lamanya setelah keduanya: Kitab Allah dan sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga (hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/172)
Kedua pedoman inilah yang senantiasa dijaga oleh kaum muslimin dari berbagai upaya perubahan dan penyusupan, sebagai bentuk pembenaran dari firman Allah l:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
As-Sa’di t menjelaskan ayat ini, “Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya,’ maksudnya adalah menjaganya ketika diturunkan maupun setelahnya. Ketika diturunkan, Allah l menjaganya dari setan yang terkutuk yang hendak mencurinya.
Setelah diturunkan, Allah l meletakkannya di dalam hati Rasul-Nya, lalu meletakkannya dalam hati umatnya. Allah l menjaganya dari berbagai perubahan, penambahan, dan pengurangan, serta memelihara maknanya dari perubahan.
Tidaklah seseorang melakukan perubahan pada salah satu maknanya melainkan Allah l memberi jaminan akan adanya orang yang menjelaskan kebenaran dengan gamblang. Ini merupakan tanda kebesaran-Nya yang paling agung dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.” (Tafsir As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Oleh karena itu, Al-Qur’an Al-Karim dinukilkan kepada umat ini dengan cara yang sangat otentik, sejak generasi sahabat yang meriwayatkan Al-Qur’an dengan berbagai jenis qira’ahnya secara mutawatir kepada generasi setelahnya, hingga pada masa kita ini.
Demikian pula halnya hadits-hadits Rasulullah n, yang merupakan penjelas wahyu Al-Qur’an yang telah Allah l turunkan, senantiasa terpelihara dan terjaga dari berbagai perubahan. Abu Bakr Muhammad bin Ahmad t (wafat 350 H) mengatakan, “Sampai berita kepadaku bahwa Allah l telah memberi kekhususan umat ini dengan tiga hal yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya: ilmu sanad, nasab, dan i’rab.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Syaraf Ashabil Hadits hal. 40, juga dinukilkan dari ucapan Abu Ali al-Jayyani al-Ghassani. Lihat Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi, 2/160)
Ibnu Hazm t menerangkan, “Penukilan seorang tsiqah (tepercaya) dari orang yang tsiqah pula sampai kepada Nabi n, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan oleh Allah l kepada kaum muslimin dan tidak dimiliki agama-agama yang lain…. ” (Al-Fishal, Ibnu Hazm, 2/219—223)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah l berikan kepada umat Muhammad n. Allah l menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam menukilkan riwayat-riwayat mereka.
Demikian pula ahli bid’ah dan kelompok yang sesat dari kalangan umat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah yang besar dari Allah l, yang berpegang kepada Islam dan sunnah. Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang sahih dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.” (Majmu’ Fatawa, 1/9)
Pengertian Sanad
Sanad—atau terkadang disebut isnad—secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran. Kata isnad berasal dari kata asnada أَسْنَدَ, yang bermakna menyandarkan. Adapun secara etimologi, sanad dan isnad merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu:
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةُ إِلَى الْمَتْنِ
“Rantai perawi yang bersusun yang membawa kepada matan.”
Sebagian ulama membedakan sanad dengan isnad. Mereka mengatakan, “Sanad adalah para perawi hadits, sedangkan isnad adalah perbuatan para perawi tersebut.”
Matan adalah sebuah ucapan yang merupakan ujung dari sanad tersebut. (Lihat definisi tersebut dalam kitab Nuzhatun Nazhar, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar hlm. 53, Qawa’id At-Tahdits, Jamaluddin al-Qasimi hlm. 202, Qawa’id fi ‘Ulumil Hadits, karya at-Tahawuni hlm. 26, dll)
Sejarah Munculnya Ilmu Sanad
Di masa Rasulullah n, ilmu sanad belum menjadi hal yang sangat penting dalam penukilan, karena para sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi n adalah orang-orang yang adil dan tepercaya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan dan tidak pernah berdusta. Nabi n bersabda pada haji wada’:
أَلَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
“Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Hibban al-Busti t mengatakan dalam muqaddimah Shahih-nya:
وَفِي قَوْلِهِ n: أَلَا لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ؛ أَعْظَمُ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ كُلَّهُمْ عُدُولٌ لَيْسِ فِيْهِمْ مَجْرُوحٌ وَلَا ضَعِيفٌ، إِذْ لَوْ كَانَ فِيْهِمْ مَجْرُوحٌ أَوْ ضَعِيفٌ أَوْ كَانَ فِيْهِمْ أَحَدٌ غَيْرَ عَدْلٍ لَاسْتَثْنَى فِي قَوْلِهِ n وَقَالَ: أَلَا لِيُبَلِّغْ فُلَانٌ وَفُلَانٌ مِنْكُمُ الْغَائِبَ؛ فَلَمَّا أَجْمَلَهُمْ فِي الذِّكْرِ بِالْأَمْرِ بِالتَّبْلِيغِ مَنْ بَعْدَهُمْ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمْ كُلَّهُمْ عُدُولٌ وَكَفَى بِمَنْ عَدَّلَهُ رَسُولُ اللهِ n شَرَفًا
“Pada sabda beliau n, ‘Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir,’ terdapat dalil yang sangat jelas tentang sikap ‘adl (jujur) para sahabat. Tidak seorang pun dari mereka yang tercela dan lemah. Kalau di antara mereka ada yang tercela, lemah, atau tidak jujur, tentu beliau n telah mengecualikannya dengan bersabda, ‘Hendaknya si fulan dan si fulan di antara kalian yang menyampaikan kepada yang tidak hadir.’ Tatkala beliau n menyebutkannya secara global dalam perintah menyampaikan agama, ini menunjukkan bahwa mereka semuanya adil. Cukuplah sebagai kemuliaan bagi mereka yang mendapatkan rekomendasi Rasulullah n.” (Shahih Ibnu Hibban bersama Al-Ihsan, 1/162)
Diriwayatkan pula oleh Al-Khathib t dengan sanadnya dari Al-Bara’ bin ‘Azib z, ia berkata:
لَيْسَ كُلُّنَا سَمِعَ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ n، كَانَتْ لَنَا ضِيعَةٌ وَأَشْغَالٌ وَكَانَ النَّاسُ لَمْ يَكُونُوا يَكْذِبُونَ يَوْمَئِذٍ فَيُحَدِّثُ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
“Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah n, karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah, Al-Khathib al-Baghdadi, 2/no. 1210)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Anas bin Malik z. Ia berkata, “Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah n kami mendengarnya langsung dari beliau. Akan tetapi, para sahabat kami memberitakan kepada kami dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.” (Al-Kifayah, 2/1211)
Setelah Rasulullah n meninggal, hawa nafsu pun semakin merebak di tengah-tengah kaum muslimin. Semakin banyak pula bermunculan penyimpangan berupa bid’ah, hilangnya amanah, dan menghalalkan dusta dengan tujuan-tujuan tertentu, baik urusan dunia maupun sebuah keyakinan. Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf bertekad melakukan penelitian terhadap setiap berita yang disandarkan kepada Rasulullah n.
Thawus t berkata:
جَاءَ هَذَا إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ -يَعْنِى بُشَيْرَ بْنَ كَعْبٍ- فَجَعَلَ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: عُدْ لِحَدِيثِ كَذَا وَكَذَا. فَعَادَ لَهُ ثُمَّ حَدَّثَهُ فَقَالَ لَهُ: عُدْ لِحَدِيثِ كَذَا وَكَذَا. فَعَادَ لَهُ فَقَالَ لَهُ: مَا أَدْرِي أَعَرَفْتَ حَدِيثِي كُلَّهُ وَأَنْكَرْتَ هَذَا أَمْ أَنْكَرْتَ حَدِيثِي كُلَّهُ وَعَرَفْتَ هَذَا. فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّا كُنَّا نُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ n إِذْ لَمْ يَكُنْ يُكْذَبُ عَلَيْهِ، فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ تَرَكْنَا الْحَدِيثَ عَنْهُ
Orang ini, Busyair bin Ka’ab, datang kepada Ibnu Abbas c lalu menyampaikan hadits. Ibnu Abbas c berkata kepadanya, “Ulangi hadits ini dan itu.” Busyair pun mengulangi kembali. Ibnu Abbas c kembali berkata, “Ulangi hadits ini dan itu.” Dia pun kembali mengulangi. Lalu Busyair berkata, “Aku tidak tahu, apakah engkau mengetahui semua haditsku dan engkau mengingkari yang ini, atau engkau mengingkari semua haditsku dan engkau mengetahui (tidak mengingkari) yang ini.” Ibnu Abbas c lalu berkata, “Sesungguhnya kami dahulu memberitakan hadits dari Rasulullah n, sebab belum ada kedustaan terhadap beliau n. Akan tetapi, tatkala orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil haditsnya (tanpa penelitian).” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/19)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya dahulu jika kami mendengar seseorang berkata: ‘Rasulullah n bersabda…,’ pandangan kami segera tertuju kepadanya dan pendengaran kami menyimaknya. Namun, ketika orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil riwayat manusia kecuali yang kami kenal.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/21)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Sirin t:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ؛ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun, tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata, ‘Sebutkan nama perawi-perawi kalian!’ Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/27)
Ibnu Lahi’ah t berkata, “Aku mendengar seorang Syaikh dari kalangan Khawarij berkata, ‘Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian. Sesungguhnya, dahulu jika kami menghendaki suatu hal, kami membuatnya menjadi hadits.” (Al-Kifayah, 1/327)
Oleh karena itu, para ulama salafus saleh berusaha keras untuk senantiasa melakukan pengecekan terhadap setiap sanad, demi menjaga syariat yang mulia agar senantiasa dalam keadaan jernih.
Wallahu a’lam..
(Sumber: Asy Syariah Edisi 061, ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)
Kedua wahyu yang agung ini menjadi pedoman setiap insan yang mengharapkan jalan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Rasulullah n bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا؛ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama-lamanya setelah keduanya: Kitab Allah dan sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga (hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/172)
Kedua pedoman inilah yang senantiasa dijaga oleh kaum muslimin dari berbagai upaya perubahan dan penyusupan, sebagai bentuk pembenaran dari firman Allah l:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
As-Sa’di t menjelaskan ayat ini, “Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya,’ maksudnya adalah menjaganya ketika diturunkan maupun setelahnya. Ketika diturunkan, Allah l menjaganya dari setan yang terkutuk yang hendak mencurinya.
Setelah diturunkan, Allah l meletakkannya di dalam hati Rasul-Nya, lalu meletakkannya dalam hati umatnya. Allah l menjaganya dari berbagai perubahan, penambahan, dan pengurangan, serta memelihara maknanya dari perubahan.
Tidaklah seseorang melakukan perubahan pada salah satu maknanya melainkan Allah l memberi jaminan akan adanya orang yang menjelaskan kebenaran dengan gamblang. Ini merupakan tanda kebesaran-Nya yang paling agung dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.” (Tafsir As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Oleh karena itu, Al-Qur’an Al-Karim dinukilkan kepada umat ini dengan cara yang sangat otentik, sejak generasi sahabat yang meriwayatkan Al-Qur’an dengan berbagai jenis qira’ahnya secara mutawatir kepada generasi setelahnya, hingga pada masa kita ini.
Demikian pula halnya hadits-hadits Rasulullah n, yang merupakan penjelas wahyu Al-Qur’an yang telah Allah l turunkan, senantiasa terpelihara dan terjaga dari berbagai perubahan. Abu Bakr Muhammad bin Ahmad t (wafat 350 H) mengatakan, “Sampai berita kepadaku bahwa Allah l telah memberi kekhususan umat ini dengan tiga hal yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya: ilmu sanad, nasab, dan i’rab.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Syaraf Ashabil Hadits hal. 40, juga dinukilkan dari ucapan Abu Ali al-Jayyani al-Ghassani. Lihat Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi, 2/160)
Ibnu Hazm t menerangkan, “Penukilan seorang tsiqah (tepercaya) dari orang yang tsiqah pula sampai kepada Nabi n, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan oleh Allah l kepada kaum muslimin dan tidak dimiliki agama-agama yang lain…. ” (Al-Fishal, Ibnu Hazm, 2/219—223)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah l berikan kepada umat Muhammad n. Allah l menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam menukilkan riwayat-riwayat mereka.
Demikian pula ahli bid’ah dan kelompok yang sesat dari kalangan umat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah yang besar dari Allah l, yang berpegang kepada Islam dan sunnah. Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang sahih dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.” (Majmu’ Fatawa, 1/9)
Pengertian Sanad
Sanad—atau terkadang disebut isnad—secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran. Kata isnad berasal dari kata asnada أَسْنَدَ, yang bermakna menyandarkan. Adapun secara etimologi, sanad dan isnad merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu:
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةُ إِلَى الْمَتْنِ
“Rantai perawi yang bersusun yang membawa kepada matan.”
Sebagian ulama membedakan sanad dengan isnad. Mereka mengatakan, “Sanad adalah para perawi hadits, sedangkan isnad adalah perbuatan para perawi tersebut.”
Matan adalah sebuah ucapan yang merupakan ujung dari sanad tersebut. (Lihat definisi tersebut dalam kitab Nuzhatun Nazhar, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar hlm. 53, Qawa’id At-Tahdits, Jamaluddin al-Qasimi hlm. 202, Qawa’id fi ‘Ulumil Hadits, karya at-Tahawuni hlm. 26, dll)
Sejarah Munculnya Ilmu Sanad
Di masa Rasulullah n, ilmu sanad belum menjadi hal yang sangat penting dalam penukilan, karena para sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi n adalah orang-orang yang adil dan tepercaya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan dan tidak pernah berdusta. Nabi n bersabda pada haji wada’:
أَلَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
“Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Hibban al-Busti t mengatakan dalam muqaddimah Shahih-nya:
وَفِي قَوْلِهِ n: أَلَا لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ؛ أَعْظَمُ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ كُلَّهُمْ عُدُولٌ لَيْسِ فِيْهِمْ مَجْرُوحٌ وَلَا ضَعِيفٌ، إِذْ لَوْ كَانَ فِيْهِمْ مَجْرُوحٌ أَوْ ضَعِيفٌ أَوْ كَانَ فِيْهِمْ أَحَدٌ غَيْرَ عَدْلٍ لَاسْتَثْنَى فِي قَوْلِهِ n وَقَالَ: أَلَا لِيُبَلِّغْ فُلَانٌ وَفُلَانٌ مِنْكُمُ الْغَائِبَ؛ فَلَمَّا أَجْمَلَهُمْ فِي الذِّكْرِ بِالْأَمْرِ بِالتَّبْلِيغِ مَنْ بَعْدَهُمْ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمْ كُلَّهُمْ عُدُولٌ وَكَفَى بِمَنْ عَدَّلَهُ رَسُولُ اللهِ n شَرَفًا
“Pada sabda beliau n, ‘Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir,’ terdapat dalil yang sangat jelas tentang sikap ‘adl (jujur) para sahabat. Tidak seorang pun dari mereka yang tercela dan lemah. Kalau di antara mereka ada yang tercela, lemah, atau tidak jujur, tentu beliau n telah mengecualikannya dengan bersabda, ‘Hendaknya si fulan dan si fulan di antara kalian yang menyampaikan kepada yang tidak hadir.’ Tatkala beliau n menyebutkannya secara global dalam perintah menyampaikan agama, ini menunjukkan bahwa mereka semuanya adil. Cukuplah sebagai kemuliaan bagi mereka yang mendapatkan rekomendasi Rasulullah n.” (Shahih Ibnu Hibban bersama Al-Ihsan, 1/162)
Diriwayatkan pula oleh Al-Khathib t dengan sanadnya dari Al-Bara’ bin ‘Azib z, ia berkata:
لَيْسَ كُلُّنَا سَمِعَ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ n، كَانَتْ لَنَا ضِيعَةٌ وَأَشْغَالٌ وَكَانَ النَّاسُ لَمْ يَكُونُوا يَكْذِبُونَ يَوْمَئِذٍ فَيُحَدِّثُ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
“Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah n, karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah, Al-Khathib al-Baghdadi, 2/no. 1210)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Anas bin Malik z. Ia berkata, “Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah n kami mendengarnya langsung dari beliau. Akan tetapi, para sahabat kami memberitakan kepada kami dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.” (Al-Kifayah, 2/1211)
Setelah Rasulullah n meninggal, hawa nafsu pun semakin merebak di tengah-tengah kaum muslimin. Semakin banyak pula bermunculan penyimpangan berupa bid’ah, hilangnya amanah, dan menghalalkan dusta dengan tujuan-tujuan tertentu, baik urusan dunia maupun sebuah keyakinan. Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf bertekad melakukan penelitian terhadap setiap berita yang disandarkan kepada Rasulullah n.
Thawus t berkata:
جَاءَ هَذَا إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ -يَعْنِى بُشَيْرَ بْنَ كَعْبٍ- فَجَعَلَ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: عُدْ لِحَدِيثِ كَذَا وَكَذَا. فَعَادَ لَهُ ثُمَّ حَدَّثَهُ فَقَالَ لَهُ: عُدْ لِحَدِيثِ كَذَا وَكَذَا. فَعَادَ لَهُ فَقَالَ لَهُ: مَا أَدْرِي أَعَرَفْتَ حَدِيثِي كُلَّهُ وَأَنْكَرْتَ هَذَا أَمْ أَنْكَرْتَ حَدِيثِي كُلَّهُ وَعَرَفْتَ هَذَا. فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّا كُنَّا نُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ n إِذْ لَمْ يَكُنْ يُكْذَبُ عَلَيْهِ، فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ تَرَكْنَا الْحَدِيثَ عَنْهُ
Orang ini, Busyair bin Ka’ab, datang kepada Ibnu Abbas c lalu menyampaikan hadits. Ibnu Abbas c berkata kepadanya, “Ulangi hadits ini dan itu.” Busyair pun mengulangi kembali. Ibnu Abbas c kembali berkata, “Ulangi hadits ini dan itu.” Dia pun kembali mengulangi. Lalu Busyair berkata, “Aku tidak tahu, apakah engkau mengetahui semua haditsku dan engkau mengingkari yang ini, atau engkau mengingkari semua haditsku dan engkau mengetahui (tidak mengingkari) yang ini.” Ibnu Abbas c lalu berkata, “Sesungguhnya kami dahulu memberitakan hadits dari Rasulullah n, sebab belum ada kedustaan terhadap beliau n. Akan tetapi, tatkala orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil haditsnya (tanpa penelitian).” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/19)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya dahulu jika kami mendengar seseorang berkata: ‘Rasulullah n bersabda…,’ pandangan kami segera tertuju kepadanya dan pendengaran kami menyimaknya. Namun, ketika orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil riwayat manusia kecuali yang kami kenal.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/21)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Sirin t:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ؛ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun, tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata, ‘Sebutkan nama perawi-perawi kalian!’ Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/27)
Ibnu Lahi’ah t berkata, “Aku mendengar seorang Syaikh dari kalangan Khawarij berkata, ‘Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian. Sesungguhnya, dahulu jika kami menghendaki suatu hal, kami membuatnya menjadi hadits.” (Al-Kifayah, 1/327)
Oleh karena itu, para ulama salafus saleh berusaha keras untuk senantiasa melakukan pengecekan terhadap setiap sanad, demi menjaga syariat yang mulia agar senantiasa dalam keadaan jernih.
Wallahu a’lam..
(Sumber: Asy Syariah Edisi 061, ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)