Allah telah menjadikan kasih sayang yang murni di antara sesama muslim sebagai simpul ikatan kecintaan fillah yang paling kuat, dan yang memadukan antara orang-orang yang berkasih sayang di bawah nauangan ‘ArsyNya. Islam menguatkan lagi dengan kewajiban menjaga harta, kehormatan dan jiwa seorang muslim agar tidak tertimpa musibah dan tidak terkena keburukan.

Namun, ada sebagian jiwa manusia yang kehausan di tengah perairan yang tawar, mengharapkan sirnanya kebaikan dari orang lain yang dianugerahi nikmat dan rizki oleh Allah, dan memandang mereka dengan rasa dengki, sehingga melahirkan buah yang buruk berupa ghibah (meng-gunjing), mengadu domba, mengolok-olok dan sebagainya.

Tidak ada suatu masyarakat pun yang terbebas dari polusi jiwa buruk seperti ini.

Inilah risalah keempat dari serial “Bertaubat dari …” yang mengupas tentang dengki, yaitu topik yang dipan-dang oleh mayoritas orang sebagai suatu problem yang telah menembus barisan kaum muslimin.

Semoga Allah membersihkan hati kita semua dari kedengkian dan menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang bersaudara dan saling mencintai.

Dengki

Dengki adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari seseorang yang memilikinya, baik nikmat agama maupun nikmat dunia. Ini adalah sikap yang tercela karena dapat mendatangkan bahaya pada jasmani dan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan beragama (rohani), bahkan hal itu dapat menganiaya dan menyakiti seorang muslim, karena itulah Allah Ta'ala dan RasulNya melarangnya.
Allah Ta'ala berfirman:

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang muk-min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebo-hongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Allah juga berfirman dalam rangka mencela orang-orang yang dengki dan mengingkari perbuatan mereka:

“dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (Al-Falaq: 5)

Kemudian agar kita selalu waspada terhadap per-buatan dengki dan akibat-akibatnya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari dengki, karena dengki akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud). Dalam riwa-yat lain disebutkan: “.. rerumputan.” Beliau bersabda pula:

“Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah itu ada musuh-musuhnya”, ditanyakan kepada beliau: “Siapakah para musuh itu?” maka beliau bersabda: “Yaitu orang-orang yang dengki terhadap anugerah yang telah Allah berikan kepada sebagian mereka.” (HR Ath-Thabrani)

Selanjutnya, agar masyarakat muslim tetap meme-lihara kemurnian dan kejernihan bermasyarakat, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang segala sesuatu yang dapat mengeruhkannya, beliau bersabda: “Janganlah kalian saling membenci, janganlah ka-lian saling mendengki, janganlah kalian saling mem-belakangi dan janganlah kalian saling memutuskan tali persaudaraan, akan tetapi hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersudara, dan tidak halal bagi seorang muslim untuk men-diamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (Muttafaq ‘alaih)

Hakekat dengki dan hukumnya

Hakekat dengki adalah: Kuatnya rasa duka terhadap kebaikan-kebaikan yang ada pada orang lain. Jika Allah Ta'ala memberikan nikmatNya kepada saudara anda, maka terhadap nikmat itu ada dua kemungkinan, yaitu:

Pertama: anda membenci nikmat tersebut dan anda senang jika nikmat itu hilang, sikap inilah yang disebut dengki. Dengan demikian dengki itu adalah: benci terhadap suatu nikmat dan senang jika nikmat itu hilang dari orang yang menerimanya.

Kedua: anda tidak senang jika nikmat itu hilang dan anda tidak benci dengan adanya nikmat itu serta tidak benci jika nikmat itu ada terus berlanjut, akan tetapi andapun berhasrat mendapat nikamat yang serupa. Inilah yang dinamakan gibthah yaitu berharap mendapat nikmat seperti orang lain tanpa disertai dengan iri hati. Ada kalanya sikap seperti ini disebut persaingan.

Sikap pertama tadi hukumnya haram dalam bentuk apapun, kecuali terhadap nikmat yang ada pada orang yang jahat atau pada orang kafir, karena nikmat itu akan ia jadikan fitnah, merusak hubungan antara sesama dan menyakiti manusia, dengan demikian kebencian anda terhadap nikmat itu dan kesenangan anda bila nikmat itu hilang (dari orang jahat atau kafir) tidak mendatangkan bahaya pada diri anda, karena yang anda senangi bukanlah hilangnya nikmat itu sendiri tetapi karena nikmat itu dijadikan alat untuk merusak, walaupun anda terlepas dari kerusakan tersebut dan tidak ikut merasakan kenik-matannya.

Haramnya sikap yang pertama ini adalah karena dali-dalil yang disebutkan tadi dan karena adanya rasa tidak senang terhadap ketentuan Allah dalam hal memberikan kelebihan kepada sebagian hamba terhadap sebagian lainnya, yang mana rasa tidak senang ini tanpa alasan dan tanpa pengecualian. Kemaksiatan apa yang lebih besar dari pada ketidak sukaan anda terhadap kesenangan seorang muslim, padahal itu tidak membahayakan anda? Al-Qur’an mengisyaratkan:
ِ
“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.”(Ali Imran: 120)

Kegembiraan di sini adalah kegembiraan terhadap kerugian orang lain, kedengkian dan kegembiraan terhadap kerugian orang lain adalah dua hal yang saling berpautan yang tidak bisa dipisahkan.

Di antara yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan adalah iri hati dan dengki, hal itu dikarenakan bahwa kemarahan itu jika dia menahan dan menyembunyikannya karena tidak bisa melampiaskannya, maka kemarahan itu kembali ke dalam hati dan berdiam di dalamnya kemudian

berubah menjadi iri dan dengki. Dalam keadaan demikian hati menjadi sempit lalu timbullah rasa tidak senang, inilah dengki. Di samping itu, marah juga dapat menimbulkan pada diri anda harapan akan hilangnya nikmat dari orang yang mendapatkannya, anda akan senang bila mendapatkan nikmat tersebut dan bahagia jika orang itu mendapatkan musibah. Karena itu anda menari-nari bila ia mendapat musibah, mendiamkannya, memutuskan hubungan dengannya jika ia datang kepada anda, sementara lidah anda melontarkan kata-kata yang tidak layak, menghinanya, mengolok-oloknya dan menyakitinya, serta menghalanginya untuk mendapatkan haknya, yaitu bersilahturahmi.

Semua itu adalah perbuatan haram yang amat besar dosanya. Kedengkian yang paling rendah tingkatannya adalah kekurangan yang mengurangi kadar agamanya. Disebutkan dalam sebuah sya’ir, yang maksudnya:
“Mereka dengki terhadap si pemuda karena tidak mendapat apa yang dimilikinya, maka kaum itu menjadi musuh dan lawannya.

Seperti para madu seorang isteri jelita, yang mereka ucapkan tentang wajahnya, hanyalah kedengkian dan kemarahan, bahwa sungguh itu sangat buruk.”

Landasan kekufuran

Kekufuran bertopang pada empat landasan, yaitu: sombong, dengki, marah, dan syahwat. Kesombongan menghalangi seseorang untuk bersikap tunduk, kedengkian menghalangi seseorang untuk menerima nasehat sekaligus menghalanginya untuk melaksanakan nasehat itu, kemarahan mencegahnya untuk bersikap adil, dan syahwat menghalanginya untuk melakukan ibadah.

Jika landasan kesombongan telah hancur maka akan mudah baginya untuk bersikap tunduk, jika landasan kedengkian telah hancur maka akan mudah baginya untuk menerima nasehat dan melaksanakannya, jika landasan kemarahan telah hancur maka akan mudah baginya untuk bersikap adil dan rendah hati, dan jika landasan syahwat telah hancur maka akan mudah baginya untuk bersabar, menjauhkan diri dari maksiat serta melakukan ibadah.

Keempat hal ini timbul karena seseorang tidak mengenal Tuhannya dan tidak mengenal dirinya, sebab jika ia telah mengenal Tuhannya melalui sifat-sifatNya yang sempurna, serta mengenal dirinya dengan mengenali kekurangan dan kelemahan yang ada dalam dirinya, maka ia tidak akan bersikap sombong dan tidak akan marah serta tidak akan dengki kepada seseorang atas apa yang telah Allah berikan kepadanya.

Sesungguhnya hakekat dengki adalah salah suatu jenis permusuhan, yaitu permusuhan terhadap Allah Ta'ala, karena ia tidak senang terhadap nikmat yang Allah berikan

kepada hambaNya. Allah Ta'ala senang memberikan nikmat itu kepada hambaNya akan tetapi ia malah tidak senang nikmat itu ada pada hambaNya, padahal Allah tidak senang akan hal demikian. Berarti ia melakukan perlawanan terhadap Allah dalam hal taqdirNya, Qadla-Nya, cintaNya, dan benciNya.

Oleh kerena itu iblis adalah musuh Allah yang hakiki karena dosanya berasal dari kesombongan dan kedengkian. Maka untuk mengikis habis kedua sifat iblis ini adalah dengan mengenal Allah, mengesakanNya, ridla kepada Allah dan apa yang ditetapkanNya serta menjadikan Allah tempat kembalinya segala sesuatu.

Seorang bijak berkata: Orang dengki menentang Tuhannya dengan lima cara, yaitu:

Pertama: Benci terhadap setiap nikmat yang ada pada orang lain.

Kedua: Marah terhadap anugerah Allah, seakan-akan ia berkata kepada Tuhannya: “Mengapa Engkau melakukan pembagian seperti ini?”

Ketiga: Bahwa ia kikir terhadap kurnia Allah yaitu bahwa nikmat itu adalah kurnia Allah dan Allah akan memberikan kurniaNya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sementara ia kikir terhadap kurnia Allah itu.

Keempat: Membiarkan dan tidak menolong orang yang diberi nikmat Allah, karena ia menginginkan kehinaan dan hilangnya nikmat itu darinya.

Kelima: Menolong musuhnya, yaitu iblis yang di laknat Allah.

Disebutkan: Orang dengki tidak mendapatkan sesuatu apapun dalam pergaulannya kecuali kehinaan dan tidak akan mendapatkan suatu apapun dari malaikat kecuali laknat dan kemarahan, dan pada saat kesendiriannya ia tidak mendapat apapun kecuali kesedihan, tidak merasakan suatu apapun ketika dicabut nyawanya kecuali penderitaan dan kesulitan, dan tidak mendapat suatu apapun di hari kiamat nanti kecuali api Neraka yang panas dan membakar.

Persaingan

Tingkah laku manusia memiliki batas, jika manusia dalam bertingkah lakunya telah melampaui batas tersebut maka tingkah laku tersebut akan menciptakan permusuhan, dan jika tingkah laku itu tidak mencapai batasnya maka hal tersebut akan menyebabkan kekurangan dan kehinaan.

Begitu juga dengan kedengkian yang juga memi-liki batas yaitu batasan untuk bersaing dalam hal mencari kesempurnaan untuk bisa melebihi saingannya. Jika kedengkian melebihi dari hal itu maka kedengkian itu akan berubah menjadi penindasan dan penganiayaan, yang disertai harapan hilangnya nikmat dari orang pesaingnya dan berambisi untuk menyakitinya. Sebaliknya jika batasan dengki itu tidak mencapai batasnya, yaitu persaingan, maka hal inipun merupakan suatu kekurangan karena berkurangnya, dan lemahnya jiwa bersaing yang akan meyebabkan kehinaan, bahkan menunjukkan kekerdilan jiwanya.

Dalil-dalil yang menunjukan dibolehkannya bersaing adalah Firman Allah Ta'ala: “dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin: 26) dan FirmanNya:

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu” (Al-Hadid: 21)
Dalam Kitab Ash-Shahihaini disebutkan, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Tidak boleh dengki kecuali pada dua hal, yaitu: pada orang yang Allah berikan kepadanya harta kemudian ia menafkahkan hartanya itu di waktu malam dan siang, dan orang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur'an lalu ia melaksanaknnya di waktu malam dan siang”.

Inilah yang dinamakan dengan gibthah, yaitu bercita-cita untuk bisa mendapatkan nikmat seperti orang lain tanpa disertai keinginan akan hilangnya nikmat tersebut dari orang lain itu. Ungkapan dengki dalam hadits ini adalah ungkapan isti'arah, yaitu menggunakan ungkapan yang bukan ditujukan pada maksud sesungguhnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menerangkan maksud sabda beliau itu pada hadits Abu Kabsyah Al-Anmari, beliau bersabda:

“Perumpamaan umat ini bagaikan empat orang, yaitu: Seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan ilmu, lalu ia berbuat terhadap hartanya itu sesuai dengan ilmunya; dan Seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu tanpa memberinya harta, lalu ia

berkata: ‘Wahai Tuhanku seandainya aku memiliki harta sebagaimana yang dimiliki Fulan maka aku pasti akan berbuat terhadap harta itu sebagaimana yang ia lakukan pada hartanya’, kedua orang itu akan mendapatkan ganjaran pahala yang sama.

(Orang kedua ini berkehendak agar ia dapat memiliki harta sebagaimana orang yang pertama agar dapat berbuat seperti apa yang diperbuat orang pertama tanpa adanya keinginan hilangnya kenikmatan yang ada pada orang pertama); dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta tanpa memberinya ilmu, maka ia menggunakan harta itu dalam melakukan perbuatan maksiat pada Allah, serta seseorang yang Allah tidak memberi kepadanya ilmu juga tidak memberi kepadanya harta, lalu ia berkata: ‘Seandainya aku memiliki harta seperti yang dimiliki Fulan, maka aku pasti akan menggunakan harta itu sebagimana yang dilakukan Fulan dalam melakukan maksiat’, kedua orang ini mendapat ganjaran dosa yang sama”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi.)

Di sini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencela keinginan orang itu karena perbuatan maksiatnya dan bukan dari segi keinganannya untuk memiliki harta seperti yang dimiliki orang lain, jadi dibolehkan bagi seseorang untuk bercita-cita memiliki nikmat sebagaimana yang dinikmati orang lain selama ia tidak menghendaki hilangnya nikmat yang ada pada orang lain itu, bahkan jika

itu berupa nikmat agama seperti keimanan, shalat, zakat dan lain-lain maka bersaing atau iri dalam hal seperti ini adalah wajib hukumnya. Sementara jika nikmat itu berupa keutamaan-keutamaan seperti menafkahkan harta dalam kebaikan serta shadaqah maka bersaing atau iri dalam hal ini adalah sunnah hukumnya, dan jika nikmat itu berupa hal yang bersifat mubah maka bersaing atau iri dalam hal itu adalah mubah hukumnya.

Faktor-faktor yang mendukung Sikap Dengki

1. Permusuhan dan kebencian

Sebab sesungguhnya orang yang disakiti oleh orang lain karena suatu hal, akan menimbulkan ketidak sukaan dalam hatinya, maka lahirlah di dalam dirinya kedengkian.

Kemudian kedengkian itu akan menimbulkan sikap balas dendam, yaitu jika orang yang tidak disukainya tertimpa suatu musibah maka ia akan merasa senang, dan sebaliknya jika orang yang tidak ia sukai itu mendapatkan kebahagiaan maka ia bersedih. Jadi kedengkian sudah pasti menimbulkan permusuhan karena keduanya itu tidak bisa dipisahkan. Adapun tujuan dari suatu ketaqwaan adalah tidak melakukan perbuatan aniaya, karena ia pun tidak suka jika hal itu menimpa dirinya, sebab orang yang membenci orang lain, maka sama saja kebahagiaan atau kedukaan orang lain itu baginya, maka tidak mungkin ia melakukannya.

2. Kesombongan

Yaitu jika orang-orang yang sederajat dengannya mendapatkan harta ataupun tahta lalu timbul di dalam dirinya rasa takut jika mereka bersikap sombong terhadap-nya, yang mana kesombongan mereka itu akan amat menyakitinya, atau mungkin pula yang mendapatkan harta atau tahta itu adalah orang-orang bawahannya, hingga ia tak sanggup menerima kenyataan itu. Kedeng-kian orang-orang kafir terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah kedengkian semacam ini, yaitu kedengkian yang disebabkan oleh kesombongan. Sebagaimana yang disebut-kan dalam Firman Allah:

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar di antara salah satu dari dua negeri (Mekah dan Thaif) ini’.” (Az-Zukhruf: 31), juga Firman Allah tentang orang-orang yang beriman: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka” (Al-An'am: 53), dalam ayat lain Allah berfirman:

“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami.” (Yasin: 15), juga Allah berfirman: “Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang meru-gi.” (Al-Mu'minun: 34)

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir itu sombong dengan tidak mengakui kerasulan yang datang dari manusia biasa seperti mereka, maka mereka dengki terhadap para Rasul Allah.

3. Mencintai Kepemimpinan dan Ketenaran

Adapun yang dimaksud dengan mencintai kepemim-pinan dan ketenaran, contohnya adalah orang yang menghendaki agar tidak ada orang yang mampu menandinginya dalam suatu jenis disiplin ilmu umpamanya. Ia tidak mau ada orang lain yang melebihinya dalam mendapat sanjungan, ia akan senang bila pujian itu hanya miliknya, yaitu dengan menjadi satu-satunya bintang pada masanya. Jika ia mendengar tentang seseorang yang dapat melebihinya sehingga terdengar di seantero jagat, maka timbul kedengkian dalam dirinya dengan harapan bahwa saingannya itu akan mati atau nikmat yang ada padanya akan hilang, baik yang berupa ilmu, keberanian, ibadah, kekayaan

ataupun lain-lainnya, hal itu semua timbul karena ia ingin memimpin, tidak mau terkalahkan.
Para ulama Yahudi mengingkari kerasulan Nabi Muhammad n, mereka tidak mau beriman terhadap apa yang beliau bahwa dikarenakan mereka takut akan kehilangan kepemimpinan mereka terhadap umat Yahudi.

4. Keburukan dan Kekikiran Jiwa

Yang dimaksud dengan jiwa yang keji dan kikir terhadap hamba-hamba Allah adalah, sebagaimana yang anda temukan dalam kehidupan, bahwa ada sebagian manusia yang tidak menyibukkan dirinya dengan kekua-saan dan juga tidak sombong, akan tetapi jika diceritakan kepadanya tentang kebaikan kondisi salah seorang hamba Allah Ta’ala karena nikmat yang dianugerahkan kepadanya, maka akan terasa sesak olehnya, dan bila diceritakan kepadanya tentang penderitaan yang dialami oleh seseorang maka berita itu akan menggembirakan hatinya. Dengan demikian ia adalah manusia yang kikir dengan nikmat Allah yang Allah berikan kepadanya, seakan-akan nikmat itu diambil dari lemarinya dan seakan-akan nikmat itu adalah miliknya.

Seorang ulama berkata: al-bakhil, ialah orang yang kikir terhadap hartanya sendiri, sedang asy-syahih, ialah orang yang kikir terhadap harta orang lain. Orang yang kikir dengan nikmat Allah yang telah Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, yang mana tidak ada permusuhan maupun ikatan antara yang diberi karunia itu dengan dirinya,

kekikiran ini tidak ada penyebabnya kecuali timbul dari keburukan jiwa dan perangai. Sulit untuk mengobati penyakit kekikiran ini, karena penyakit tersebut tidak memiliki penyebab yang dapat diketahui sehingga sulit untuk dihilangkan.

Banyaknya kedengkian di tengah kehidupan manu-sia yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah kami sebutkan di atas, kebanyakkan kedengkian itu terjadi di antara kawan, antara saudara, antara keponakan, dan penyebab kedengkian itu adalah karena terdapatnya perbedaan meksud dan tujuan hingga menimbulkan permusuhan dan saling membenci.

Buah Kedengkian

Sesungguhnya kemarahan itu jika harus ditahan, maka tidak mungkin akan hilang dalam satu saat, sehingga kemarahan itu akan kembali ke dalam hati dan berdiam di dalamnya, lalu berubah menjadi dengki. Sedangkan pengertian dengki adalah, perasaan berat di hati yang disertai dengan kebencian dan keinginan untuk terlepas darinya, yang mana hal itu terus berlanjut. Dengan demikian dengki adalah buah dari kemarahan.

Kedengkian itu sendiri akan membuahkan delapan perkara, yaitu:

1. Timbulnya keinginan atau harapan agar nikmat yang ada pada seseorang itu hilang, dengan demikian jika nikmat itu hilang dari diri seseorang maka anda akan berbahagia, sebaliknya jika nikmat itu tetap pada diri orang itu maka anda akan bersedih. Sikap seperti ini adalah salah satu perangai buruk orang-orang munafik.

2. Akan bertambah besarnya kedengkian yang telah melekat dalam hati, dengan demikian anda akan merasa senang dengan musibah yang menimpa orang dimaksud.

3. Anda tidak akan menegurnya, menghindarinya dan memutuskan hubungan dengannya, walaupun ia mengundangmu dan menghampirimu.

4. Anda akan memalingkan wajah darinya sebagai ungkap-an untuk merendahkannya.

Oleh karena itu anda sering dapatkan seorang berilmu dengki kepada orang berilmu lainnya tapi tidak dengki kepada orang yang tekun beribadah. Orang yang tekun beribadah dengki kepada orang yang tekun beribadah lainnya tapi tidak dengki kepada orang yang berilmu. Pedagang dengki kepada pedagang lainnya, tukang sepatu dengki kepada tukang sepatu lainnya, namun tidak dengki kepada tukang kain kecuali ada sebab lain. Hal ini terjadi karena tujuan setiap profesi mereka tidak sama dengan tujuan yang lainnya.

Maka sumber permusuhan itu adalah adanya saling mendesak untuk mencapai tujuan yang sama, sementara tujuan yang sama itu tidak bisa memadukan dua kelompok yang saling berjauhan, karena tidak ada ikatan antara kedua orang di tempat yang berbeda. Dan sikap saling mendengki tidak akan terjadi di antara mereka berdua kecuali jika salah satu dari kedua orang itu memiliki ambisi yang amat besar

untuk mendapat ketenaran, karena sesungguhnya dengki timbul dalam diri seseorang kepada orang yang dapat menyainginya dalam suatu bidang yang ia banggakan.

Sumber dari semua itu adalah cinta kepada kese-nangan duniawi, karena kesenangan duniawi adalah menyempitkan dua orang yang saling memperebutkannya, sedangkan kesenangan akhirat tidak ada kesempitan bagi mereka yang ingin mendapatkannya.

Sifat dengki itu sungguh tercela, karena merupakan watak yang buruk, kadang tertuju pada kerabat bahkan teman-teman sepergaulan, maka tentu saja berlepas diri darinya adalah suatu kemuliaan, dan keterlepasan darinya adalah suatu kemenangan betapa tidak, kedengkian itu jelas-jelas membahakan diri sendiri, namun terus saja dilakukan, sebab sangat mungkin kedengkian itu akan mendatangkan kebinasaan bagi orang yang mendengki tanpa adanya kerugian sedikitpun pada orang yang didengki.

Perlu diketahui bahwa sebesar kenikmatan yang didapati oleh seseorang maka sebesar itu pula ukuran kedengkian manusia padanya, jika kenikmatan itu banyak maka akan besar pula kedengkian manusia kepadanya. begitu pula sebaliknya, jika kenikmatan itu sedikit maka akan kecil pula kedengkian manusia kepadanya, karena tampilnya keutamaan akan mengundang timbulnya kedengkian orang lain dan terjadinya kenikmatan akan melipatkan kedukaan orang lain.

1. Anda berkata-kata tentang orang yang anda dengki dengan perkataan yang dilarang, yaitu berupa kebo-hongan, gunjingan, penyebaran rahasia, menghasut dan lain-lainnya.

2. Anda menceritakan tentang orang yang anda dengki kepada orang lain untuk menghinanya dan merendahkan-nya.

3. Anda akan menyakiti orang yang anda dengki dengan memukulnya atau perbuatan lain yang menyakiti badannya.

4. Anda menghalanginya untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, seperti membayar hutang, silahturrahmi, membela diri dan lain-lain, yang mana semua perbuatan itu adalah haram.

Hendaknya anda memelihara diri agar terhindar dari delapan hal yang telah disebutkan ini, dan jangan sampai anda terjebak ke dalam perbuatan maksiat terhadap Allah karenanya, akan tetapi membiarkannya terasa berat di dalam hati namun tidak membiarkan hati anda membencinya, sehingga hal itu menghalangi anda untuk bersikap santun, lemah lembut, membantu keperluannya, duduk bersamanya dalam rangka dzkrullah dan saling menolong dalam hal yang bermanfaat baginya. Atau setidaknya, anda tidak mendoakan untuknya, tidak memujinya, tidak berkomentar terhadap kebaikannya. Walaupun semua ini akan mengurangi derajat keagama-an anda, dan melewatkan anugerah yang agung serta pahala yang besar, namun tidak menjerumuskan anda kepada adzab Allah.

Ganjaran bagi orang yang dengki

Sesungguhya barangsiapa yang memperhatikan Al-Qur'an, maka ia akan menemukan di dalamnya ayat yang menerangkan akibat yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat zhalim dan dengki serta akibat yang akan diterima oleh orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana dalam kisah Habil dan Qabil, juga kisah Yusuf bersama saudara-saudaranya. Di samping itu, ia juga akan menemu-kan keterangan-keterangan tentang sifat-sifat para da'i yang jujur dan ikhlash dalam da'wah mereka, juga tentang orang-orang yang hatinya bersih dari sifat iri dan dengki, sebagaimana dalam kisah se-orang pria yang berkata setelah dibunuh oleh kaumnya:

“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabbku memberikan ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (Yasin: 26-27)

Tidak ada perbuatan jahat yang lebih berbahaya dari pada dengki, karena orang yang dengki akan mendapatkan lima keburukan sebelum sampainya sesuatu yang dibenci kepada orang yang didengkinya, yaitu:

1. Kedukaan yang terus menerus.
2. Musibah yang tidak mendapatkan pahala.
3. Kehinaan yang tidak terpuji.
4. Murka Allah kepadanya.
5. Tertutup baginya pintu-pintu petunjuk.

“Musuh-musuhmu tidak akan mati, melainkan mereka akan kekal hingga melihat kedukaan pada dirimu. orang yang didengki tidak akan tergelincir dari nik-matnya, karena kesempurnaan itu pada orang yang didengki.”

Sikap Muslim terhadap orang yang mendengkinya

Penjelasan tentang hal ini telah Allah terangkan dalam firmanNya:

“dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134)

Para ahlul ilmi mengatakan: Menurut ayat ini, ada tiga tahapan dalam menyikapi dengki; sikap pemula, sikap pertengahan dan sikap untuk memperolah kebaikan, yaitu:

Pertama: Barangsiapa yang diperlakukan tidak baik, maka hendaklah ia menahan diri. Sikap ini adalah tahapan yang paling rendah, maka ia harus menahan amarahnya tanpa disertai dendam.

Kedua: yang lebih baik dari menahan marah adalah memaafkan kesalahan orang lain, dengan mengharap kebaikan dari Allah Ta'ala, yang mana sikap ini timbul dari kesucian jiwanya.

Ketiga: melakukan apa yang Allah sukai yaitu kebajikan dengan bersikap baik terhadap orang yang dengki dalam bentuk silaturrahim, mengunjunginya, menghormati-nya atau memberinya hadiah.

Di samping itu seorang Muslim juga memiliki sikap-sikap lainnya dalam menghadapi kedengkian orang-orang yang mendengkinya, yaitu:

1. Mengembalikan segala urusan kepada Allah Ta'ala dan taubat dari segala perbuatan dosa, karena sesung-guhnya perlakuan orang-orang yang tidak menyukainya terhadap dia, adalah karena dosa-dosa yang ia perbuat, Allah Ta'ala berfirman: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (Asy-Syura: 30)

2. Bertawakal kepada Allah karena sesungguhnya barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupi keperluannya. Tawakal adalah faktor yang paling kuat untuk melindungi seorang hamba dari sesuatu yang tidak mampu ia cegah, yang berupa penganiayaan dan kezhaliman manusia, Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)

3. Memohon perlindungan kepada Allah serta membaca do'a-do'a dan zikir-zikir yang disyari'atkan, karena Allah Ta'ala telah memerintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki ketika ia mendengki.

4. Merendahkan diri dihadapan Allah dengan disertai permohonan agar Allah menjaga dan memelihara anda dari kejahatan musuh-musuh anda dan orang-orang yang mendengki anda.

5. Bersikap adil kepada orang yang mendengki anda dan tidak berbuat buruk terhadapnya untuk membalas keburukannya, tetap memenuhi hak-haknya serta tidak berbuat aniaya terhadapnya karena perbu-atannya.

6. Berbuat baik kepadanya, dan jika semakin besar kejahatan dan kedengkiannya maka semakin baik anda kepadanya, dengan demikian sikap anda terhadapnya adalah nasihat untuknya.

7. Bersikap kasih sayang kepadanya, mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepadanya dan menjaga anda dari kejahatannya.
“Setiap permusuhan kadang bisa diharapakann ber-henti, kecuali permusuhan yang berasal dari kedengki-an.”

Berapa hikmah dari Para Salaf

Berkata Bakar bin Abdullah: Ada seorang pria mendatangi raja untuk memberi nasehat, lalu ia berdiri di samping sang raja, ia berkata: “Berbuat baiklah engkau kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya, sesungguhnya orang yang berbuat buruk akan mendapatkan keburukan perbuatannya”.

Lalu seseorang mendengki pria itu karena mendapatkan kedudukan itu dan perkataannya tersebut, lalu ia bergegas menemui raja dengan membawa sepatu itu dan berkata: “Sesungguhnya orang yang berjalan dengan sepatumu ini dan berkata-kata itu, telah mengatakan bahwa mulut raja bau”.

Raja bertanya kepadanya: “Bagaimana aku bisa mempercayai kebenaran itu?”, ia menjawab: “Panggilan ia kepadamu, jika dia mendekatimu maka ia akan meletak-kan tangannya pada hidungnya agar ia tidak mencium bau mulut”, berkata raja kepadanya: “Pergilah engkau hingga aku membuktikan ucapanmu itu”.

Orang itupun keluar dari tempat raja, lalu ia meng-undang pria tersebut ke rumahnya dengan menyuguhkan hidangan yang di dalamnya terdapat bawang putih, setelah itu ia berkata bahwa raja memanggilnya, maka datanglah pria itu ke hadapan raja dan memberi nasehat kepadanya sebagaimana biasa dengan mengatakan:

“Berbuat baiklah engkau kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya, dan sesungguhnya orang yang berbuat buruk akan mendapat keburukan dari perbuatan buruknya”,

lalu raja berkata kepada pria itu: “Mendekatlah engkau ke hadapanku”, maka pria itu mendekat kepada raja dengan tangan yang menutupi mulutnya karena khawatir raja akan mencium bau bawang putih dari mulutnya, maka berkata raja dalam hatinya: “Sesungguhnya benar apa yang dikatakan si Fulan kepada-ku”.

Sementara kebiasaan sang raja, tidak menulis dengan tulisan tangannya kecuali untuk memberi hadiah atau ketetapan baik lainnya, lalu raja menulis surat dengan tulisan tangannya untuk pria itu agar ia berikan kepada seorang petugas raja yang berbunyi: “Jika datang kepadamu orang yang membawa suratku ini maka sembelihlah ia dan kulitilah ia, lalu kirim jasadnya kepadaku”, lalu pria itu mengambil surat itu dan keluar dari tempat raja.

Kemudian pria itu bertemu dengan si Fulan (orang yang mendengkinya), maka berkata Fulan kepadanya: “Apakah itu di tanganmu itu?” pria itu menjawab: “Surat dari raja berisi hal baik yang harus diberikan kepada seorang petugas raja”, Fulan berkata: “Berikan surat itu kepadaku”, pria itu berkata: “Ambillah”,

maka Fulan mengambil surat itu dan pergi kepada petugas raja, setelah petugas raja menerima surat itu, ia berkata: “Sesungguhnya surat ini memerintahkan kepadaku agar aku menyembelihmu dan menguliti tubuhmu”,

berkata Fulan: “Demi Allah surat ini bukan milikku, jangan engkau melakukan hal itu kepadaku sebelum mengkonfirmasi-kannya kepada raja”, petugas itu berkata: “Tidak ada konfirmasi untuk surat raja”, maka petugas itu melaksanakan apa yang diperintahkan rajanya yaitu menyembelihnya dan mengulitinya kemudian mengirimkan jasad itu kepada raja.

Di lain waktu, pria itu datang kepada raja sebagai-mana biasanya dan mengatakan sebagaimana biasa ia katakan, maka terkejutlah raja dan berkata: “Ada apa dengan surat itu?” maka pria itu menjawab: “Fulan bertemu denganku kemudian meminta surat itu dariku maka aku memberikan surat itu kepadanya”,

berkata raja kepadanya: “Sesungguhnya fulan berkata kepadaku bahwa engkau mengatakan tentangku bahwa mulutku bau”, pria itu berkata: “Aku tidak pernah mengatakan ucapan itu”, raja bertanya: “Lalu mengapa engkau meletakkan tanganmu pada mulutmu?”,

pria itu menjawab: “Karena fulan telah memberiku bawang putih maka aku tidak mau engkau mencium bawang putih itu dari mulutku”, raja berkata: “Engkau benar, kembalilah ke tempatmu dan telah cukup bagi orang yang berbuat buruk untuk mendapatkan keburukan dari perbuatan buruknya”.

Berkata Mu’awiyah radhiallahu 'anhu: “Tidak ada sifat jahat yang lebih bijaksana daripada kedengkian, yang mana kedengkian itu akan membunuh orang yang dengki sebelum kedengkian itu sampai kepada orang yang didengkinya.”

Berkata Ibnu Sirin rahimahullah: “Aku tidak pernah mendengki seorang manusia pun terhadap urusan duniawi, karena jika ia termasuk ahli Surga, mengapa pula aku mendengkinya terhadap urusan duniawi sebab urusan duniawi adalah hina di Surga? dan jika ia termasuk ahli Neraka, mengapa pula aku mendengkinya pada urusan duniawi padahal ia akan menuju ke Neraka?”

Berkata Abdullah bin Al-Mu’taz: “Orang yang mendengki adalah orang yang marah terhadap orang yang tidak berdosa, bahkil akan sesuatu yang tidak ia miliki, dan mencari sesuatu yang tidak akan ia peroleh.”

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu 'anhu, bahwa ia berkata kepada anaknya: “Wahai anakku jauhilah sifat dengki, karena sesungguhnya kedengkian itu akan berlaku sendiri sebelum berlaku pada musuhmu”.

Dari Sufyan bin Dinar, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Basyar: “Beritahukan kepadaku tentang apa yang dilakukan orang-orang sebelum kita?”, Abu Basyar berkata: “Mereka melakukan pekerjaan yang ringan akan tetapi mereka mendapat pahala yang banyak”, berkata Sufyan: “Mengapa bisa demikian?”, Abu Basyar menjawab: “Karena mereka berlapang dada”.
 
Adalah Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ketika seorang laki-laki mencercanya ia berkata kepadanya: “Engkau telah mencercaku, padahal ada tiga watak pada diriku; Sesungguhnya aku telah mendapatkan ayat dalam Kitabullah -’Azza wa Jalla- lalu aku sungguh-sungguh mengharapkan agar semua manusia mengetahui itu sebagaimana aku ketahui; dan sesungguhnya aku telah mendengar seorang hakim di antara para hakim kaum Muslimin yang bijaksana dalam memberikan keputusan, maka aku pun senang akan hal itu, namun rasanya aku tidak akan mengajukan perkara kepadanya selamanya; dan sesungguhnya aku telah mendengar bahwa hujan telah membasahi suatu negeri di antara negeri-negeri kaum Mulsimin lalu aku senang akan hal itu, namun sayang aku tidak memiliki ternak.”

Disebutkan bahwa Aun bin Abdullah datang menemui Al-Fadl bin Al-Mahlab yang saat itu sedang berada di tempat Washith, ia berkata: “Sesungguhnya aku ingin memberimu suatu nasehat“, Al-Fadl: “Nasehat apakah itu?” berkata Aun bin Abdullah: “Jauhilah kesombongan, karena sesungguhnya kesombongan adalah dosa yang pertama yang membuat makhluk bermaksiat kepada Allah”, kemudian ia membaca: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis.” (Al-Baqarah: 34)

Jauhilah sifat tamak, karena sifat itulah yang mengeluarkan Adam dari Surga, padahal Allah telah

menempatkan Adam di Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, ia makan dari berbagai macam tumbuhan yang ada di Surga kecuali satu pohon yang Allah melarang untuk memakan buahnya, akan tetapi karena tamak, maka Adam memakan buah dari pohon terlarang itu, maka Allah mengeluarkannya dari Surga”, kemudian membaca:

“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah: 36).

“Jauhilah dengki, karena sesungguhnya Anak Adam membunuh saudaranya saat ia dengki kepada saudaranya”, kemudian ia membaca: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maa’idah: 27)

Wahai saudaraku Muslim. “Bersabarlah engkau terhadap tipu daya orang yang dengki, Karena sesungguhnya kesabaranmu itu akan membunuhnya. Sesungguhnya api itu akan saling memakan sesamanya jika ia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat dimakannya.”

Sarana Lapang Dada

Hati yang lapang adalah hati yang bersih dari syirik, dengki, iri, benci, kikir, sombong, cinta dunia dan cinta kepemimpinan, singkatnya hati yang suci adalah hati yang bersih dari segala noda yang menjauhkan diri seseorang dari Allah Ta'ala.

Berlapang dada dan baiknya hubungan antar sesama adalah cerminan dari sikap Taqwa, oleh karena itu Allah menyandingkan kedua hal ini dalam Firman-Nya:

“bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah perhu-bungan diantara sesamamu.” (Al-Anfal: 1)

Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: “ini adalah perintah Allah Ta'ala dan RasulNya agar mereka bertaqwa kepada Allah Ta'ala serta memperbaiki hubungan antara sesama manusia”. Dan ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya:
َ
“Manusia bagaimanakah yang paling baik?”, beliau bersabda: “Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya”, para sahabat bertanya: “Orang yang benar ucapannya telah kami ketahui, lalu bagaimanakah kami mengetahui orang yang bersih hatinya?, beliau bersabda: “Yaitu orang yang bertaqwa nan murni, tidak ada dosa, tidak aniaya, tidak iri dan tidak dengki”. (HR Ibnu Majah No. 5216 dalam Az-Zawa’id disebutkan: sanad hadits ini shahih dan orang-orangnya dapat dipercaya).

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: Saat itu kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: “Akan muncul kepada kalian sekarang ini seseorang dari penghuni Surga”,

lalu datanglah kepada kami seorang pria dari golongan kaum Anshar yang janggutnya basah kena air wudhu dan kedua alas kakinya dibawa oleh tangannya yang sebelah kiri. Keesokkan harinya beliau bersabda dengan sabda yang serupa, lalu datang orang itu sebagaimana datang pertama kali. Begitu pula pada hari ketiga beliau bersabda dengan sabda yang sama pula, lalu datang orang itu seperti keadaannya pertama.

Kemudian ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri, maka Abdullah bin Amr bin ‘Ash mengikuti orang tersebut (untuk melihat apa yang dikerjakan agar dapat diteladani).

Abdullah berkata (kepada orang tersebut): “Sungguh aku bertengkar dengan ayahku, lalu aku bersumpah tidak akan masuk ke rumah selama tiga hari, jika engkau mempersilakanku menginap dirumahmu selama itu, maka akan aku lakukan”, ia menjawab: “Ya”. Anas berkata: Selanjutnya Abdullah menginap di rumahnya setelah tiga malam berturut-turut untuk memperhatikan apa yang dilakukan orang itu.

Abdullah bin Amr tidak pernah melihatnya bangun malam, hanya saja jika ia terjaga atau membalikkan badan dalam tidurnya ia menyebut nama Allah -’Azza wa Jalla-, dan bertakbir kepada Allah lalu sampai ia bangun untuk shalat Subuh.

Abdullah berkata: Hanya saja aku tidak pernah mendengar darinya kecuali yang baik. Setelah berlalu tiga hari, dan aku hampir mencela perbuatannya (memperhatikan orang tersebut), aku berkata: “Wahai hamba Allah, sebenarnya aku dan ayahku tidak bertengkar, tidak juga saling mendiamkan, tapi aku mendengar

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersada tentangmu sampai tiga kali: ‘Akan muncul kepada kalian sekarang ini seseorang dari penghuni Surga’, lalu engkaulah yang muncul itu, maka aku ingin menginap di rumahmu agar aku bisa melihat perbuatanmu sehingga aku bisa meneladaninya, namun aku tidak melihatmu melakukan banyak amal, lalu apa sebenarnya menjadikan dirimu seperti apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentangmu?”.

Orang itu menjawab: “Tidak ada yang aku lakukan kecuali seperti apa yang engkau lihat“, Abdullah berkata: Ketika aku hendak pergi ia memanggilku dan ia berkata: “Aku tidak melakukan apa-apa kecuali seperti apa yang kamu lihat, hanya saja aku tidak pernah menemukan dalam diriku kebencian terhadap seorang pun di antara kaum muslimin dan tidak pernah mendengki kepada seseorang karena kebaikan yang Allah berikan kepadanya”, maka berkata Abdullah: “Inilah yang menyebabkan kamu seperti apa yang Rasulullah sabdakan itu, dan sikap seperti itulah yang tidak mampu kami lakukan “. (HR Ahmad).

Sarana untuk menghapus dengki

Pertama: Ihklash

Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, ia berkata: bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
َ
“Ada tiga hal yang mana hati seorang mukmin tidak akan merasakan dengki, yaitu: ihklash beramal, memberi nasehat kepada para pemimpin, tetap berjama'ah bersama barisan kaum muslimin, karena do'a mereka akan melindungi siapa yang ada di belakang mereka”. HR Ahmad 4/80. Ibnu Majah No. 230, Al-Hakim 1/86, Hadits shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Sebagaimana diketahui bahwa barangsiapa yang mengikhlaskan agamanya untuk Allah Ta'ala, maka ia tidak lahir di dalamnya dirinya perasaan terhadap saudara-saudaranya sesama Muslim kecuali kasih sayang yang murni. Ia akan bergembira jika mereka mendapatkan kesenangan dan ia akan sedih jika mereka tertimpa musibah, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Kedua: Ridla kepada Tuhannya dan hatinya penuh dengan keridhaan

Telah berkata Ibnul Qayyim rahimahullah tentang Ridha: Bahwa ridha akan membukakan pintu keselamatan bagi yang melakukannya, karena keridhaan itu dapat menjadikan jiwa seseorang menjadi bersih dari kecurangan, iri dan dengki, dan sesungguhnya tidak ada orang yang dapat lolos dari siksaan Allah kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Adalah mustahil hati menjadi bersih bila disertai kebencian dan tidak ada keridhaan, semakin besar keridhaan seseorang maka semakin bertambah bersihlah hatinya. Iri, dengki dan curang adalah perbuatan yang selalu mengiringi kemarahan, sementara hati yang bersih dan baik selalu mengiringi keridlaan. Begitu pula dengan dengki, ia adalah buah daripada kemarahan, sebagaimana hati yang bersih adalah buah dari pada ridha.

Ketiga: membaca Al-Qur'an dan menghayatinya

Membaca Al-Qur'an adalah obat dari segala macam penyakit, orang yang terhalang dari rahmat Allah adalah orang yang tidak berobat dengan Al-Qur'an, Allah berfirman:

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra': 82).

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah tentang ayat ini: Yang benar adalah bahwa kata “dari” di dalam ayat ini adalah untuk menerangkan macam atau jenis dan bukan menunjukkan ungkapan “sebagian”, berfirman pula Allah Ta'ala:

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada-mu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada.” (Yu-nus: 57)

Maka Al-Qur'an adalah merupakan formula penyem-buhan yang sempurna untuk berbagai penyakit hati maupun tubuh, dan sekaligus sebagai obat penyakit dunia maupun penyakit akhirat.

Keempat: Anda harus ingat akan perhitungan amal dan siksaan yang akan didapat oleh mereka yang menyakiti kaum Muslimin yang disebabkan oleh keburukan jiwa dan perangainya, yaitu berupa iri, dengki, menggunjing, mengadudomba, mengolok-olok dan sebagainya.

Kelima: Do'a

Hendaknya seorang hamba selalu berdo'a kepada Tuhannya agar Allah menjadikan hatinya bersih terhadap saudara-saudaranya, dan juga berdo'a untuk kebaikan dirinya. Inilah jalan yang ditempuh oleh orang-orang shaleh, Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang".” (Al-Hasyr: 10)

Keenam: Bersedekah

Karena sedekah dapat membersihkan hati dan mensucikan jiwa, oleh karena itu Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Obatilah orang-orang sakit di antara kamu dengan bersedekah”.

Sesungguhnya orang sakit yang lebih berhak untuk diobati adalah yang menderita penyakit hati, dan hati yang paling berhak untuk itu adalah hati anda sendiri yang ada dalam diri anda.

Ketujuh: Anda harus ingat bahwa orang yang anda tiupkan racun anda ke dalam dirinya adalah saudara muslim, bukan orang Yahudi, bukan pula Nashrani. Anda dan saudara anda yang Muslim itu telah disatukan dalam ikatan islam, mengapa pula anda menyakitinya.

Kedelapan: Menyebarkan ucapan salam

Dari Abu Hurairah radhiallah 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Demi yang jiwaku berada pada tanganNya, sesung-guhnya kalian tidak akan masuk Surga hingga kalian beriman, dan kalian belum dikatakan beriman (dengan sempurna) sebelum kalian saling mencintai, maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu perbuatan yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Muslim)

Berkata Ibnu Abdul Barr rahimahullah: Hadits ini menunjukkan bahwa salah satu keutamaan mengucapkan salam adalah dapat menghilangkan rasa saling membenci dan dapat menciptakan rasa saling mencintai.

Pena: Syaikh Abdul Malik Al-Qasim
Penerbit :YAYASAN AL-SOFWA, Jakarta
PO. BOX 7289 JKSPM 12072 Jakarta
Telp. (021) 78836327 (hunting), Fax. (021) 78836326
 
Top