Tatkala Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepadaNya semata, agar mendapat keridhaan dan kecintaan dariNya, maka Allah Ta'ala memberikan kepada mereka berbagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, berupa hati, penglihatan, pendengaran dan anggota badan, sebagai karunia dan anugerah dariNya.

Sehingga, barangsiapa yang menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut untuk menaatiNya, menempuh jalan ma’rifah kepadaNya melalui petunjuk yang Dia arahkan, sedangkan dia tidak mencari jalan lain yang menyimpang darinya, berarti dia telah mensyukuri kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya.

Allah Ta'ala telah berfirman,“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (an-Nahl: 78)

Sebaliknya, orang yang menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut hanya untuk memenuhi kehendak diri dan hawa nafsunya, tidak memperhatikan hak Allah sebagai pencipta dan pemberi kenikmatan, maka dia akan merugi ketika dimintai pertanggungjawaban atasnya, menyesal dan bersedih dengan kesedihan yang lama.

Karena mau tidak mau, pasti akan ditegakkan perhitungan atas hak anggota badan yang telah Allah berikan kepada hambaNya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra`: 36) (Lihat Mawaridul Aman al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fi Mashayidisy Syaithan, karya Syekh Ali Hasan al-Halabi, hlm. 30)

Oleh karena itu, seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tentu akan memperhatikan amalan-amalannya. Dia akan senantiasa berusaha memperbagus amalan- amalannya, sehingga dia benar-benar ditulis oleh Allah sebagai orang yang bersyukur atas kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya.

Maka ketahuilah, –semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada kebaikan– bahwa semua kebaikan bergantung kepada hati yang ada dalam dada. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad ini ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka seluruh jasad pun akan menjadi baik. Dan jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh jasad pun akan menjadi rusak. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari (1/19) dan Muslim (1219) dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Beliau mengkhususkan hati dengan hal tersebut karena hati adalah pemimpin badan. Dengan baiknya pemimpin, maka rakyat akan menjadi baik, dengan rusaknya pemimpin, rakyat pun menjadi rusak. Dan dalam hadits ini terdapat peringatan untuk mengagungkan kedudukan hati dan anjuran untuk memperbaikinya...” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dalam Kitab al-Iman Bab Fadhli Man Istabra`a Lidinihi)

Memang benar apa yang beliau katakan, bahwa kedudukan hati terhadap anggota badan adalah bagaikan raja yang menguasai rakyatnya. Dimana seluruh anggota badan akan tergerak ketika ada perintah dari hati, sedangkan hati menggunakan dan mengatur anggota badan dengan kehendaknya. Sehingga anggota badan akan mengikuti kehendak, niat dan azam yang ada di dalam hati. Jika hati memiliki niat dan kehendak yang baik, maka amalan baik pun akan dinilai baik. Sebaliknya, jika hati memiliki niat dan kehendak yang buruk, maka suatu amalan meskipun dilihat baik secara lahir, tidak akan dinilai baik pada hakikatnya.

Dan syariat Islam yang mulia ini telah menjadikan timbangan untuk amalan yang diterima dengan dua syarat, tidak akan diterima suatu amalan jika hanya memenuhi satu syarat darinya.
  • Pertama, ikhlash yang ada di dalam hati.
  • Kedua, kesesuaian amalan dengan tuntunan syariat Islam.
Kemudian, tatkala iblis, musuh Allah mengetahui bahwa inti kebaikan ada pada hati dan bergantung kepadanya, dia pun memfokuskan gangguannya pada hati dengan memberikan was-was, menghadapkannya dengan berbagai syahwat, memperindah berbagai amalan dan keadaan yang akan menghalangi hamba dari jalan yang lurus dan membentangkan berbagai sebab kesesatan yang akan menghalanginya dari sebab-sebab taufik. Untuk itu, dia pun menyiapkan berbagai jerat dan jaring yang menipu. Jika seorang hamba selamat dari jerat dan jaring tersebut, dia tidak akan lepas dari gangguan atau halangan yang disebabkan olehnya.(Lihat Mawaridul Aman, hlm. 31)

Dengan demikian, nyatalah bagi kita untuk benar-benar memperhatikan, memperbaiki, membersihkan dan menjaga hati-hati kita dari segala hal yang akan merusaknya. Bahkan perhatian terhadap hati bisa dikatakan lebih besar dibandingkan amalan lahiriyah. Karena amalan lahiriyah akan muncul dan menjadi baik dengan baiknya hati.

Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata,“Dalam hadits ini terdapat penegasan untuk berusaha memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.” (Syarh Shahih Muslim, karya Imam Nawawi dalam Kitab al-Musaqah Bab Akhdzil Halal Wa Tarkisy Syubuhat)

Dan penjagaan kesehatan hati akan terwujud dengan tiga hal, sebagaimana penjagaan kesehatan badan juga demikian.
  • 1. Menjaga kekuatan hati, yaitu dengan keimanan dan ketaatan-ketaatan kepada Allah.
  • 2. Perlindungan dari hal yang merusak dan berbahaya, yaitu dengan menjauhi dosa- dosa, kemaksiatan dan berbagai penyimpangan.
  • 3. Menghilangkan segala unsur merusak yang telah melekat padanya, yaitu dengan bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah Ta'ala. (Lihat Mawaridul Aman, hlm. 48)
PEMBAGIAN HATI

Sebagaimana Allah Ta'ala yang memberi kehidupan dan mematikan jasad hamba- hambaNya, Dia jugalah yang menghidupkan dan mematikan hati hamba-hambaNya. Allah Ta'ala berfirman, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy- Syura: 52)

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata, “Dan demikianlah, manakala Kami telah beri wahyu kepada para rasul sebelummu, Kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami, yaitu al-Qur`an yang mulia ini. Dia menamakan al-Qur`an dengan ruh karena dengan ruh jasad akan hidup, sedangkan dengan al-Qur`an, hati-hati dan ruh-ruh akan menjadi hidup, dan akan hidup pula dengannya kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan agama, karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan ilmu yang melimpah.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan karya Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di hlm. 762)

Ketika jasad manusia terbagi menjadi tiga, jasad yang hidup sehat, jasad yang mati dan jasad yang sakit, maka hati pun demikian, terbagi menjadi hati yang hidup sehat, hati yang mati dan hati yang sakit.

Dan Allah Ta'ala telah mengumpulkan tiga macam hati ini dalam firmanNya, "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang- orang yang beriman kepada jalan yang lurus." (al-Hajj: 52-54)

Maka dalam ayat ini Allah menjadikan hati ada tiga macam, dua hati yang mendapat fitnah (cobaan) dan satu hati yang selamat. Dua hati yang mendapat cobaan itu adalah hati yang ada penyakit padanya dan hati yang keras. Sedangkan hati yang selamat adalah hati yang beriman, yang senantiasa kembali kepada Rabbnya, yaitu yang merasa tenang kepadaNya, tunduk, pasrah dan patuh kepadaNya. (Mawaridul Aman, hlm. 37-38)

QALBUN SALIM (hati yang sehat)

Inilah hati yang sehat lagi selamat, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim.” (asy-Syu’ara`: 88-89)

Hati ini pulalah yang dimiliki Nabi Ibrahim 'Alaihissalam ketika mendatangi Allah Ta'ala, “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nabi Nuh). (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang salim.” (ash-Shaffat: 83- 84)

Adapun maksud hati yang salim, maka para ulama telah berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Dalam kitab Syifa`ul Qulub, Syekh Mushthafa al-Adawi rahimahullah menyebutkan tujuh pendapat para ulama tentang makna qalbun salim. Lalu beliau mengatakan, “... Maka hati yang salim adalah hati yang selamat dari kesyirikan dan kecintaan terhadap pelaku syirik. Selamat dari kesyirikan, selamat dari bid’ah, selamat dari dosa-dosa dan maksiat, selamat dari berbagai belenggu, selamat dari dengki. Hati yang memiliki sifat-sifat terpuji, bersih dari sifat-sifat rendahan. Yaitu hati yang merasa takut dan gentar terhadap Allah ‘azza wa jalla. Wallahu a’lam.” (Lihat Syifa`ul Qulub karya Syekh Mushthafa al-‘Adawi, hlm. 8-9)

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya istilah para ulama tentang makna qalbun salim berbeda-beda. Dan kesimpulan yang mencakup semuanya itu adalah, hati yang selamat dari seluruh syahwat yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah, dan selamat dari seluruh syubhat yang bertentangan dengan beritaNya. Maka hati itu selamat dari peribadahan kepada selainNya, selamat dari berhukum kepada selain rasulNya shallallahu’alaihi wasallam. Hati itu selamat dalam mencintai Allah dengan selalu berhukum kepada rasulNya shallallahu’alaihi wasallam, juga dalam rasa takut kepada Allah, dalam berharap, bertawakal, kembali dan merendahkan diri kepadaNya, mendahulukan keridhaanNya dalam setiap keadaan, serta menjauhkan diri dari kemurkaanNya dengan berbagai jalan. Dan ini adalah hakikat ubudiyah (penghambaan) yang hanya pantas ditujukan kepada Allah semata.” (Mawaridul Aman, hlm. 33-34)

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Maka hati yang salim adalah yang selamat dari segala kerusakan dan perkara yang dibenci. Yaitu yang padanya hanya ada kecintaan kepada Allah, rasa takut kepadaNya dan kepada apa yang menjauhkan dariNya.” (Iqazhul Himam al-Muntaqa min Jami'il 'Ulum wal Hikam, karya Syekh Salim al-Hilali, hlm. 120)

Hati yang sehat dan selamat ini, karena kebersihan dan kemurnian yang ada padanya, berbagai fitnah dan cobaan yang menghampirinya tidak akan membahayakan hati ini.

Bahkan hal tersebut akan menambah keimanan dan keyakinan yang ada padanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Fitnah menempel kepada hati sebagaimana anyaman tikar, satu demi satu. Hati mana saja yang menerimanya, akan dituliskan padanya titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya, akan dituliskan padanya titik putih. Sehingga jadilah hati itu menjadi dua macam. Hati yang putih bersih bagaikan batu licin yang bersih, sehingga fitnah tidak akan berbahaya padanya sama sekali selama langit dan bumi masih ada. Dan yang kedua adalah hati yang hitam keruh bagaikan cangkir terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari keburukan kecuali yang masuk dari hawa nafsunya." (HR Muslim 144)

Ketika Allah menjadikan bilangan malaikat yang ditugasi menjaga neraka berjumlah sembilan belas, Allah menyebutkan bahwa hal itu sebagai fitnah (cobaan) bagi orang- orang kafir dan yang di dalam hatinya ada penyakit, namun sebagai penguat keimanan orang-orang yang beriman. Allah berfirman, "Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-kitab menjadi yakin, dan supaya orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi al-kitab dan orang- orang mukmin itu tidak ragu-ragu, dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), 'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?' Demikianlah Allah membiarkan sesat orang- orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya." (al-Muddatstsir: 31)

QALBUN MAYYIT (hati yang mati)

“Yaitu hati yang sama sekali tidak ada kehidupan padanya. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepadaNya dengan melaksanakan perintah dan segala yang dicintai dan diridhai olehNya. Akan tetapi bersikap sesuai dengan hawa nafsu dan kesenangannya belaka, meskipun hal itu menyebabkan kemarahan dan kemurkaan Rabbnya. Jika dia telah meraih syahwat dan bagiannya, dia tidak peduli apakah diridhai atau dimurkai Rabbnya. Maka dia menghambakan diri kepada selain Allah, dengan rasa cinta, takut, harap, ridha, murka, pengagungan dan perendahan diri. Jika mencintai, makamencintai karena hawa nafsunya. Jika membenci, membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, memberi karena hawa nafsunya. Jika mencegah pemberian, mencegah karena hawa nafsunya. Hawa nafsunya lebih dia utamakan dan dia cintai daripada keridhaan Maula-nya (Allah). Hawa nafsu adalah imamnya, syahwat adalah panglimanya, kebodohan adalah pengendalinya dan kelalaian adalah kendaraannya.

Hati ini penuh dengan pikiran untuk meraih tujuan-tujuan duniawi. Tertutup oleh hawa nafsu yang memabukkan dan kecintaan terhadap dunia. Mereka diseru kepada Allah dan hari akhirat dari tempat yang jauh. Tidak menyambut orang yang memberi nasihat, namun mengikuti setiap setan yang durhaka. Dunia lah yang menjadikan dia marah dan ridha, sedangkan hawa nafsu membuat dia tuli dan buta dari kebenaran.” (Mawaridul Aman, hlm. 36)

Orang yang memiliki hati semacam ini, telah disebutkan oleh Allah sebagai makhluk yang lebih buruk dari binatang ternak. Allah Ta'ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (al- A’raf: 179)

Dan Allah Ta'ala berfirman tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (al-Jatsiyah: 23)

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, “Allah berfirman, maka pernahkah kamu melihat seorang yang sesat, yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, segala yang disukai hawa nafsunya dia laksanakan, baik diridhai maupun dimurkai oleh Allah. Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya bahwa hidayah tidak pantas baginya dan dia juga tidak pantas mendapat hidayah. Allah telah mengunci mati pendengarannya sehingga dia tidak bisa mendengarkan sesuatu yang bermanfaat baginya, juga mengunci hatinya sehingga dia tidak bisa menyimpan kebaikan. Dan Allah telah meletakkan tutupan atas penglihatannya, yang akan menghalanginya dari melihat kebenaran. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah?

Yakni, tidak ada seorang pun yang akan memberinya petunjuk, sedangkan Allah telah menutup atasnya segala pintu hidayah dan membuka segala pintu kesesatan untuknya. Allah tidaklah menzhaliminya, akan tetapi dialah yang menzhalimi diri sendiri dan menyebabkan tercegahnya rahmat Allah atasnya. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran, sehingga kamu melaksanakan yang bermanfaat bagimu dan menjauhi yang berbahaya atasmu?” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 777)

Ketika menafsirkan ayat 7 dalam surat al-Baqarah, beliau menjelaskan sebab dikuncinya pendengaran dan hati serta ditutupnya penglihatan mereka. Beliau berkata, “Jalan-jalan ilmu dan kebaikan ini telah ditutup atas mereka, sehingga tidak ada lagi harapan pada mereka, dan tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan lagi di sisi mereka. Dan mereka terhalangi dari hal tersebut dan tertutup dari pintu-pintu keimanan hanyalah disebabkan karena kekafiran, penentangan dan pembangkangan mereka setelah jelas kebenaran bagi mereka.” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 42)

Ketika sahabat yang mulia Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu menjelaskan pembagian hati, beliau membaginya menjadi empat macam. Beliau berkata, “Hati ada empat. (Pertama) hati yang murni, padanya ada pelita yang bercahaya, itulah hati orang yang beriman. (Kedua) hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. (Ketiga) hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, mengetahui kebaikan lalu mengingkari, melihat kebenaran lalu buta darinya. Dan (keempat) hati yang dipengaruhi oleh dua unsur materi, unsur keimanan dan unsur kemunafikan. Maka hati ini dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya.” (Lihat Mawaridul Aman, hlm. 40-41)

Nampaknya, wallahu a’lam, beliau membagi hati yang mati menjadi dua bagian. Hati yang tertutup, yaitu hati orang kafir, dan hati yang terbalik, yaitu hati orang munafik.

Karena kedua macam hati tersebut sama-sama tidak dapat mengambil manfaat dari cahaya ilmu dan iman.

QALBUN MARIDH (hati yang sakit)

Hati inilah yang disebutkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu sebagai jenis hati yang keempat. Yaitu hati yang terpengaruh oleh dua unsur materi, keimanan dan kemunafikan atau kekufuran.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hati ini memiliki kehidupan namun juga memiliki penyakit. Maka dia memiliki dua unsur materi, kadang dipengaruhi oleh yang satu, dan terkadang dipengaruhi oleh yang lain. Maka hati ini dimiliki oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka dalam hati ini ada kecintaan kepada Allah Ta'ala, keimanan terhadapNya, ikhlas dan tawakal kepadanya, yang mana hal ini. Namun juga dalam hati ini terdapat kecintaan dan pengutamaan terhadap syahwatnya serta keinginan untuk meraihnya, hasad, kibr, 'ujub, kecintaan terhadap kedudukan yang tinggi dan kerusakan di muka bumi dengan kepemimpinan, yang mana hal tersebut merupakan unsur kebinasaannya. Maka dia diuji dengan dua penyeru. Penyeru yang mengajak kepada Allah, rasulNya dan hari akhirat. Dan penyeru yang mengajak kepada dunia. Dan hati ini akan menjawab unsur yang paling dekat darinya.” (Mawaridul Aman, hlm. 37)

Dan pada kesempatan ini, insyaallah, dengan senantiasa memohon taufik dariNya, akan kita bicarakan tentang penyakit hati ini, sebab-sebabnya dan bagaimana solusinya. Semoga Allah memudahkan..
 
Top